Dua hari tanpa hujan, Jalan Ronggowarsito menuju Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Kamis (20/2) masih tergenang. Tak lama menyusuri, tibalah di mulut Gang Spoorland I, gerbang bangunan Stasiun Samarang, stasiun pertama yang dibangun pada 1864.
"Saya tahu bangunan Stasiun Samarang yang pertama ini dari buku. Saya punya buku itu tahun 1960-an waktu bekerja di Stasiun Semarang Gudang, tetapi buku itu dipinjam teman dan tak dikembalikan,” kata Ramelan (80), warga Asrama Spoorland, Kelurahan Kemijen, Semarang Timur, Jawa Tengah. Dulu, ia teknisi gerbong kayu di sana.
Asrama Spoorland adalah sisa bangunan Stasiun Samarang sayap selatan. Sayap utara dan barat hilang tak berbekas. Bangunan itu tak jauh dari Stasiun Semarang Gudang.
Semula bangunan Stasiun Samarang berbentuk ”U” terbuka ke arah timur, mengarah ke rangkaian jalur rel. Jalur rel pertama dibangun tahun 1864-1867 sepanjang 25 kilometer menghubungkan Stasiun Samarang hingga Stasiun Tangoeng, yang sekarang ditulis Tanggung, di Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jateng.
Pada buku berbahasa Belanda, Spoorwegstations op Java, karya Michiel van Ballegoijen de Jong (Amsterdam, 1993), dipampang foto Stasiun Samarang, utuh dari sisi timur dan barat. Megah. Foto diambil saat pembukaan stasiun tahun 1867. Kondisinya tak jauh beda dengan Stasiun Tanjung Priok dan Stasiun Jakarta Kota yang masih tegak berdiri.
Kini, ejaan kata ”Samarang” pada Stasiun Samarang berubah menjadi Semarang. Stasiun ini dibangun perusahaan swasta Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Pada perkembangannya, NIS tumbuh menjadi maskapai kereta api terbesar di antara 18 maskapai yang pernah mengoperasikan jalur rel di Indonesia.
Ramelan menetap di Asrama Spoorland sejak tahun 1950-an. Istilah spoorland atau spoorlaan kira-kira berarti ’jalan sepur’.
Tahun 2009, Ramelan menjadi penunjuk keberadaan Stasiun Samarang bagi Deddy Herlambang, Tjahjono Rahardjo, dan Karyadi Baskoro. Ketiganya penggiat pada pencinta kereta api Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Semarang yang mengemban misi konservasi peninggalan penting sejarah perkeretaapian.
Hampir sulit dipercaya ketika Tjahjono pada Kamis pagi itu mengatakan, ”Di sini dulu letak tulisan Samarang.”
Dinding yang ditunjuk Tjahjono tak lagi setinggi gambar pada foto buku De Jong. Saat diresmikan 1867, tulisan ”Samarang” terlihat amat tinggi.
Selain kondisi sekarang jauh lebih rendah di atas permukaan tanah, lapis bidang dinding aslinya pun tak jelas. Banyak lapisan batu bata baru menimpanya secara tak beraturan.
Seusai menunjuk tembok itu, Tjahjono mengajak menyusuri lorong di sisi utara. Ia menunjuk ornamen ventilasi berbentuk lingkaran pada dinding setinggi sekitar 2 meter dari tanah. Ventilasi ini disebut bovenlicht pada masa Hindia Belanda dan biasanya di atas pintu.
Tjahjono juga menunjukkan ornamen konsol besi cor lengkung sebagai besi penyangga atap peron. Kejanggalan jejak bangunan yang serba rendah itu pun terkuak. Stasiun Samarang telah ambles! ”Kedalaman amblesan tanah 3 meter atau lebih,” kata Tjahjono, pengajar di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Tonggak sejarah
Sekitar 300 meter dari rumah Ramelan berdiri dua blok bangunan tua yang semula depo kereta api. Kini, bangunan itu menjadi Asrama Depo Indah yang masih menyisakan struktur bangunan baja dan balok kayu jati kokoh, tetapi bernasib sama dengan Asrama Spoorland yang ambles hingga 3 meter.
Meski begitu, fungsi bangunannya masih dipakai. Sebab, bangunan pada masa Hindia Belanda itu tinggi-tinggi.
”Kalau depo ini tak dihuni, mungkin tak ada lagi,” kata Sunarno (79), mantan masinis kereta jurusan Semarang-Cepu dan Semarang-Yogyakarta sejak tahun 1960-an. Ia menempati Asrama Depo Indah sejak 1981.
Sunarno menunjuk lengkungan pintu asli rumahnya. Pintu tersisa 1 meter pada bagian atas, selebihnya tertimbun. Ia menjebol dinding sebelahnya untuk pintu sekarang.
Di depan rumahnya ada bangunan panjang menyamping dikelilingi rawa. ”Itu dulu Stasiun Semarang Gudang.”
Buku sejarah menyebut Stasiun Semarang Gudang adalah stasiun dan rel kereta api pertama di Indonesia. Sejatinya itu stasiun kereta api barang yang terhubung dengan Stasiun Tawang. ”Namun, itu bukan stasiun pertama di Indonesia,” kata Tjahjono.
Telaga Bakti Nusantara tahun 1997 juga menyebut Semarang Gudang sebagai stasiun pertama di Indonesia pada buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 terbitan Angkasa, Bandung.
Bukan hanya Semarang Gudang yang disebut sebagai stasiun kereta api pertama. Di sebut-sebut juga Stasiun Kemijen. Lihat saja di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah. Di sana terpampang papan Stasiun Kemijen ”Anno 1868 Kemidjen + 1.8 m” yang disebutkan stasiun kereta pertama di Indonesia.
Menurut Tjahjono, Stasiun Kemijen yang berlantai dua itu hanya halte dan rumah sinyal pengawasan.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dan dosen Universitas Katolik Soegijapranata, mengatakan, di Semarang pernah ada tiga stasiun yang tak terhubung satu sama lain. Pada era Belanda, setiap stasiun dikelola perusahaan yang berbeda-beda. Baru pada pendudukan Jepang, 1942-1945, jalur rel ketiga stasiun itu dihubungkan.
Ketiganya adalah Stasiun Tawang jurusan Semarang-Surakarta-Yogyakarta, dikelola perusahaan NIS; Stasiun Poncol jurusan Semarang-Cirebon, dikelola Semarang-Cheribon Stroomtram Maatschappij (SCS); dan Stasiun Jurnatan tujuan Semarang-Juwana, dikelola Semarang-Joana Stroomtram Maatschappij (SJS).
”Hanya Stasiun Jurnatan yang berubah fungsi jadi ruko,” kata Djoko.
Dulu, kereta api adalah nadi hidup peradaban. Sempat terabaikan berpuluh tahun, kini tertatih menuju perbaikan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR