Nationalgeographic.co.id—Gending Ketawang Puspawarna tercatat dalam perjalanan sejarah, tidak hanya di Jawa, tetapi dunia. Gending tersebut menjadi bagian penting dalam ekspedisi luar angkasa yang diluncurkan oleh NASA. Lantas bagaimana perjalanannya hingga dapat sampai kesana?
Haryono dalam skripsinya berjudul Gending Ketawang Puspawarna Awal Jadi dan Perkembangannnya, terbit pada 1994, menjelaskan tentang awal mula kemunculan gending Ketawang Puspawarna.
Proses penyusunan gending Ketawang Puspawarna dilatarbelakangi adanya sajian karawitan klenengan oleh Paku Buwono IX di Pesanggrahan Langenharja. "Klenengan tersebut mengetengahkan Ladrang Pangkur paripurna laras slendro pathet sanga dengan disertai gerongan" tulisnya.
Melihat klenengan itu, Mangkunegara IV kemudian terinspirasi untuk menggubah karyanya sendiri. "Teks dan melodi dari Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura merupakan hasil karya dari Pangeran Mangkunegara IV, yang berkuasa di Mangkunegaran era 1853-1881" lanjut Haryono.
Ketawang Puspawarna ini biasanya dibunyikan sebagai pertanda datangnya pangeran maupun untuk mengiringi tarian-tarian. Gendhing ini memiliki lirik mengenai berbagai jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, atau nuansa.
"Perkembangan gending Ketawang Puspawarna di masyarakat, disamping kepedulian dari pengrawit istana untuk menyebarluaskan, juga ditunjang beredarnya kaset dan siaran-siaran karawitan" tambahnya.
Baca Juga: Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan
"Ia merupakan salah satu komposisi gamelan dengan jenis kendhangan (ritme) Ketawang yang dapat dilagukan dalam laras slendro maupun pelog" terang Haryono. Movement yang digunakan adalah Pathet Manyura
"Umumnya, Pathet Manyura diaplikasikan pada bagian akhir yang menyenangkan atau happy ending dari sebuah pertunjukkan wayang, mewakili mood puas dan kegemilangan" pungkas Haryono. Bagian-bagiannya menjadi sangat menarik untuk didengar.
Di tempat lain, NASA membentuk komite untuk menyeleksi rekaman-rekaman yang akan masuk. NASA menunjuk astronom Dr. Carl Sagan dari Universitas Cornell, sebagai pemimpin komite. "Komite menyeleksi bunyi-bunyian musik yang ada di bumi, musik berdurasi 90 menit yang meliputi klasik, etnis, dan modern" tulis Sagan bersama timnya.
Baca Juga: Mengenal Puro Mangkunegaran dan Modernitas Batiknya
Carl Sagan bersama dengan F. D. Drake, Ann Druyan, Timothy Ferris, Jon Lomberg, dan Linda Salzman Sagan, menulis tentang rekaman yang diantar Voyager ke luar angkasa. Ia menulisnya dalam buku berjudul Murmurs of Earth: The Voyager Interstellar Record, terbitan tahun 1979.
"NASA memiliki tujuan utama untuk memberikan sinyal komunikasi dari bumi ke luar angkasa, untuk mendapatkan respon atau timbal balik dari makhluk luar angkasa yang memiliki kecerdasan" tulis Sagan bersama timnya.
Melalui rekaman piringan emas yang dipasang ditubuh Voyager I dan II, piringan tersebut akan memutarkan beragam rekaman dari bumi. "Isinya meliputi sapaan dalam 54 bahasa, bunyi-bunyian alam, hingga musik-musik bumi," tambahnya.
Baca Juga: Dari Stasiun Solo Balapan Sampai Istana, Menapaki Wangsa Mangkunegaran
Salah satu pakar musik dunia, Prof. Robert E. Brown, ditunjuk Sagan untuk mereviu beberapa musik di hampir seluruh penjuru dunia. "Ia memutuskan untuk mengikutsertakan gending Ketawang Puspawarna untuk diperdengarkan di luar angkasa" tulisnya.
"Alasannya bahwa gending tersebut mengisi warna baru, dimana nada slendro memilik sistem nada Jawa yang sangat khas (berbeda dengan jenis musik lain" tambahnya. "Itu akan menunjukan bahwa musik bumi memiliki kekayaan sistem nada yang luar biasa" pungkas Sagan.
Setelah terpilih, pada 1977, Voyager I dan II kemudian diterbangkan ke luar angkasa, jauh melintasi Jupiter, Saturnus hingga Uranus. Ia memutar sejumlah rekaman yang tertaut ditubuhnya, memperdengarkan salah satu kearifan gending Jawa kepada segenap makhluk ruang angkasa, atau orang memanggilnya Alien.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Putri Dambaan dari Mangkunegara di Lereng Merapi
Source | : | Digital Library ISI Surakarta,Murmurs of Earth (1979) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR