Anemia, yang dalam bahasa awam disebut kurang darah, ditandai dengan berkurangnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal sesuai dengan usianya. Masalah anemia jangan dianggap sepele. Jika diabaikan, kondisi ini bisa menurunkan kecerdasan anak.
Biasanya, tubuh penderita anemia akan menunjukkan sinyal tertentu seperti cepat merasa lelah, kondisi badan lemah, wajah pucat, jantung berdebar-debar, dan nafas lebih pendek. Pada kasus tertentu, penderita anemia bisa mengalami kerontokan rambut. Tapi mungkin juga anemia tidak menunjukkan gejala.
“Bila anemia terjadi dalam jangka waktu lama, meski kadar Hb-nya rendah, bisa saja tidak menunjukkan gejala khas karena tubuh telah beradaptasi”, kata Djajadiman Gatot, ahli dari Departemen Ilmu Anak FKUI/RSCM.
Anemia juga tidak terjadi dalam satu malam, namun melalui tiga tahapan. Pertama, tahap deplesi besi, yaitu penurunan cadangan besi tanpa diikuti penurunan kadar besi di dalam plasma darah. Tahap selanjutnya adalah anemia defisiensi besi tanpa anemia, di mana cadangan besi dan besi di dalam plasma darah berkurang, namun kadar Hb masih normal.
Pada tingkat lebih lanjut telah terjadi anemia defisiensi besi, yakni besi di dalam plasma darah dan kadar Hb menurun. “Itu sebabnya, pemeriksaan Hb saja tidak cukup untuk mengetahui apakah seseorang, terutama anak, mengalami anemia defisiensi besi atau tidak ? Perlu diperiksa juga kadar serum ferritin yang menunjukkan total cadangan besi”, tegas Prof. Djajadiman.
Menurut Prof. Djajadiman, masalah anemia jangan dianggap enteng. Bila kondisi ini dialami seorang anak sampai lebih dari dua tahun, maka bisa membuat kecerdasannya berkurang, atau malah IQ-nya turun.
“Jangan berharap IQ mereka lebih dari 100, paling tinggi 90-an. Pagi diajari, sore lupa. Karena kekurangan besi juga menghambat pembentukan zat neurotransmiter yang penting untuk pengendalian emosi dan pemusatan perhatian dalam perilaku anak”, kata Prof. Djajadiman mengingatkan.
Dampak kekurangan besi pada anak bisa memperlambat pertumbuhan percabangan sel otak (dendrit), sehingga hubungan antar sel-sel otak kurang kompleks dan proses informasi melambat. Selain itu juga bisa mengganggu proses pembentukan selubung sel saraf (myelinisasi) yang memicu gangguan penglihatan, pendengaran, dan perilaku.
Terjadi pula gangguan metabolisme di pusat kendali emosi dan kognitif, serta menurunkan aktivitas enzim tritofan dan tirosin hidroksilase yang mengakibatkan gangguan produksi serotonin dan dopamin. Hal ini membuat anak tidak mampu mengendalikan diri dan perasaan, serta tidak mampu memusatkan perhatian dan mengikuti pembelajaran dengan baik dan gangguan perilaku.
Kekurangan zat besi pada anak bisa disebabkan oleh sejumlah faktor: asupan makanan yang kurang mengandung zat besi, pertumbuhan saat bayi dan remaja berlangsung cepat, kurang produksi Hb, kegagalan sumsum tulang, gangguan pematangan sel darah merah, dan gangguan pada usus seperti cacingan.
Jika terlambat mengetahui seorang anak menderita anemia, sangat disayangkan. Bukan mustahil kekurangan zat besi tersebut akan lama sembuh atau malah tidak bisa lagi diobati. Karena itu, pemberian suplemen besi untuk anak tidak perlu dikhawatirkan karena sudah terbukti aman. Tubuh punya mekanisme pengaturan sendiri. Kalau kadar besi dalam darah sudah cukup, kelebihannya otomatis dibuang.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR