Saat ini apa yang kita lihat dalam film science fiction tentang pasukan robot perang yang mampu secara mandiri atau bersama-sama bertempur di udara, darat, dan laut sudah dikembangkan dengan nama teknologi Sistem Senjata Otonom (Autonomous Weapons Systems/AWS).
Sistem Senjata Otonom adalah sistem senjata yang dapat memilih dan menembak pada target sendiri tanpa campur tangan manusia. Senjata sepenuhnya otonom untuk menilai situasi di medan perang dan memutuskan metode menyerang terbaik sesuai dengan informasi yang diproses.
Sistem Senjata Otonom berbeda dari sistem senjata remote control seperti wahana nirawak (drone) yang masih dikemudikan oleh manusia dan komputer dari jarak jauh, karena tidak memerlukan panduan atau pengendalian manusia setelah diprogram dan diaktifkan.
Meskipun AWS dengan kemampuan mematikan belum digunakan saat ini, tapi kemampuan beroperasi dengan berbagai tingkat otonomi atau kebebasan bertindak dan menyerang sudah mulai digunakan. Sistem robot dengan berbagai tingkat otonomi misalnya telah digunakan secara aktif oleh Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan Korea Selatan.
Penggunaan intensif pesawat tanpa awak MQ - 1 Predator adalah saat CIA mulai melihat betapa praktisnya jika menggunakan robot udara untuk mengumpulkan intelijen dan menyerang sasaran dengan resiko dan biaya lebih kecil.
Para pakar percaya bahwa perang modern masa depan akan menggunakan AWS. Militer AS berinvestasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan sistem senjata otonom seperti wahana udara tak berawak IAI Pioneer & MQ - 1 Predator yang dapat dipersenjatai dengan rudal dan dioperasikan dari pusat komando jarak jauh untuk pengintaian dan penyekatan sasaran.
DARPA telah menyelenggarakan kompetisi di tahun 2004 dan 2005, melibatkan perusahaan swasta dan universitas untuk mengembangkan kendaraan darat tak berawak untuk bernavigasi melalui medan kasar di Gurun Mojave dengan beberapa simulasi tugas untuk hadiah dua juta dollar .
Bidang artileri juga telah melihat beberapa penelitian yang menjanjikan dengan sistem senjata eksperimental bernama Dragon Fire II yang secara otomatis mampu mengisi peluru (loading) dan menghitung balistik untuk menembak secara akurat.
Pengembangan jet tempur dan pengebom otonom untuk menghancurkan target sangat menjanjikan karena tidak memerlukan pelatihan untuk pilot robot dan pesawat otonom mampu melakukan manuver yang tidak dapat dilakukan pilot manusia, desain pesawat tidak memerlukan sistem pendukung kehidupan, dan hilangnya pesawat tidak berarti hilangnya pilot manusia.
Bahkan sistem robotika modern mampu membuat wahana tanpa awak dalam ukuran dan kemampuan sehinga mampu meniru burung kecil, serangga, ikan atau binatang kecil yang dapat masuk celah-celah atau lubang dan masuk di antara kabel listrik untuk fungsi pengintaian hingga penyerangan, dengan senjata peledak, senjata kimia, atau biologi.
Dilema
Namun, semua senjata otonom peperangan masih memiliki keterbatasan karena masih memerlukan intervensi manusia untuk memastikan masih sesuai Konvensi Jenewa untuk hukum perang.
Pertanyaan mendasar yang timbul: dapatkah keputusan atas kematian dan kehidupan diserahkan kepada mesin? Dapatkah Sistem Senjata Otonom berfungsi dalam cara yang benar dan “etis”? Apakah mesin mampu bertindak sesuai dengan hukum kemanusiaan atau hak asasi manusia internasional?
Mengingat sebagian besar konflik bersenjata saat ini adalah konflik tanpa batas yang jelas antara berbagai kelompok bersenjata dan warga sipil, patut dipertanyakan bagaimana robot dapat secara efektif diprogram untuk menghindari korban sipil ketika manusia sendiri masih menghadapi kesulitan untuk mengatasi dilema ini. Serangan militer tidak bisa dilakukan bila berisiko menyebabkan kerusakan sipil dengan proporsional tinggi.
Sistem Senjata Otonom akan bertindak mengikuti suatu "kecerdasan buatan" yang pada dasarnya diciptakan lewat perhitungan aritmetika dan pemrograman robot. Jelas diragukan bahwa teknologi berpikir sistem robot perang saat ini mampu membuat keputusan tersebut.
Sampai saat ini masih sulit untuk fitur “perasaan” atau penilaian manusia, agar bisa bertanggung jawab dan tunduk mematuhi aturan-aturan dan norma-norma. Penggunaan kecerdasan buatan dalam konflik bersenjata yang akan menjadi tantangan mendasar bagi perlindungan warga sipil sesuai dengan hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter.
Dan inilah kelemahan terbesar sistem robotika perang, ketidakmampuan untuk mengakomodasi kondisi di luar standar, yang bakal memerlukan intuisi dan mengambil keputusan—tentang yang baik dan jelek, salah dan benar, tepat dan tidak tepat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR