Ketika Rancangan Undang-Undang Pers yang berlaku sekarang dibahas di Komisi I DPR pada awal masa Reformasi, seorang anggota DPR mengatakan bahwa hak hukum warga tidak dapat dibatasi.
Artinya, setiap warga yang merasa dirugikan atau nama baiknya dicemarkan oleh pemberitaan pers dapat menempuh jalur hukum meski tersedia jalur-jalur lain yang lebih praktis, yaitu menggunakan hak jawab dan mediasi oleh Dewan Pers. Malahan, warga atau kelompok masyarakat masih tetap dapat menempuh jalur hukum sekalipun sudah melaksanakan hak jawab dan memperoleh jasa baik Dewan Pers sebagai mediator. Para anggota DPR rupanya tak ingin membatasi peluang bagi publik dalam upaya menyelesaikan konflik dengan pers akibat pemberitaan.
Penegasan ini diberikan kepada para pendukung kebebasan pers yang menjadi narasumber pemerintah. Mereka diminta Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah untuk mendampingi para perancang UU No 40/1999 tentang Pers dari Departemen Penerangan dalam pembahasan bersama para anggota DPR pada pertengahan 1999. UU ini disetujui DPR pada 13 September tahun itu dan ditandatangani Presiden BJ Habibie sebagai pengesahan 10 hari kemudian, 23 September 1999. Pembicaraan dalam sidang Komisi I DPR itu saya ungkapkan sekarang dalam kaitan penerbitan dan peredaran selebaran Obor Rakyat menjelang Pemilu Presiden 9 Juli 2014.
Seandainya Obor Rakyat diakui sebagai media pers sekalipun, pihak yang dirugikan dan nama baiknya dicemarkan oleh tulisan-tulisannya dapat menempuh jalur hukum. Bahkan, apabila selebaran ini dipandang sebagai media pers, para pengelola Obor Rakyat dapat terkena sanksi moral yang berat jika benar kekeliruan isi laporan yang disiarkan sudah mereka ketahui sebagai informasi bohong atau fiktif sebelum dimuat dalam media ini. Menyiarkan berita bohong sebagai kebenaran merupakan satu dari empat pelanggaran Kode Etik Jurnalistik paling berat karena wartawan yang bertanggung jawab atas penyiaran laporan fiktif itu harus melepaskan profesi kewartawanan selama-lamanya. Mereka harus secara seketika diberhentikan dari perusahaan pers tempatnya bekerja dan dari organisasi wartawan jika menjadi anggota.
Tiga pelanggaran berat etika pers lainnya adalah melakukan plagiat dengan mencontek karya jurnalistik media lain, menerima suap sehingga bentuk pemberitaannya mengikuti keinginan pemberi suap, serta mengungkapkan narasumber anonim yang konfidensial atau dirahasiakan dan mengakibatkan narasumber itu atau keluarganya terancam jiwanya.
Akan tetapi, isi selebaran Obor Rakyat tentang calon presiden Joko Widodo bukan sekadar menyangkut masalah pencemaran nama baik atau penistaan. Pada hemat saya, persoalan penerbitan ini tidak sesederhana itu. Uraian dalam tulisan-tulisan Obor Rakyat yang bernuansa anti-Tionghoa dan anti-non-Muslim menyangkut persoalan kebangsaan yang dibangun oleh para pejuang kemerdekaan kita sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu bahwa kita dipersatukan tanpa memperbedakan asal-usul suku dan ras serta agama dan kepercayaan.
Propaganda politik
Dalam situasi seperti sekarang ini di Indonesia, yang sedang memilah-milah sosok capres, adalah lazim jika kehidupan kita diramaikan oleh gencarnya kampanye propaganda politik tentang para calon pemimpin negara itu. Akan tetapi, kita tentulah berharap bahwa propaganda itu tidak menyimpang dari kejujuran mengungkapkan fakta-fakta yang benar. Kampanye propaganda politik di Indonesia dewasa ini, memang, tidak separah peristiwa yang pernah dialami di beberapa negara lain. Akan tetapi, sebaiknya tetap direnungkan akibat-akibat yang pernah mengusik martabat kelompok masyarakat yang menjadi sasaran propaganda itu.
Pada abad ke-20, kita menyaksikan sejumlah kampanye propaganda politik melalui media komunikasi massa, termasuk media pers, yang menimbulkan akibat sangat buruk terhadap citra kebangsaan di negara-negara itu. Kampanye itu dilakukan antara lain oleh pemimpin Nazi di Jerman, Adolf Hitler; Presiden Slobodan Milosevic di Yugoslavia; dan para pemimpin suku Hutu di Rwanda.
Kampanye propaganda yang dijalankan oleh Milosevic menggunakan teknik Hitler di Jerman dan di negara-negara yang didudukinya—untuk "menghabiskan" kaum Yahudi—menjelang dan selama Perang Dunia Kedua. Milosevic adalah Presiden Republik Federal Yugoslavia yang telah terpecah-pecah, dan waktu itu tinggal terdiri dari Serbia dan Montenegro.
Kasus Yugoslavia dan Rwanda
Seperti Hitler, Milosevic berupaya mengendalikan media siaran pada 1986 sampai 1991. Ia menggunakan media siaran di Serbia untuk menciptakan suasana rasa takut dan kebencian penduduk Serbia terhadap warga Bosnia dengan menyebutkan pesan palsu dan dilebih-lebihkan—seolah-olah kaum Muslim Bosnia dan warga Kroasia telah menyerang orang-orang Serbia. Kelebihan penggunaan media massa oleh Milosevic adalah pemanfaatan siaran televisi—yang belum berkembang pada masa kekuasaan Hitler.
Milosevic diadili oleh Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) pada Februari 2002 di Den Haag, Belanda. Namun, ia tidak sempat mendapat vonis dari mahkamah yang dibentuk oleh PBB itu karena mendapat serangan jantung dan meninggal pada 11 Maret 2006 di dalam penjara.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR