Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta
Kontaminasi parasetamol di lautan sendiri menjadi fokus penelitian penulis utama studi Wulan Koagouw, dari University of Brighton dan Pusat Riset Oseanografi LIPI. Alasannya, parasetamol adalah obat yang sering digunakan di seluruh dunia untuk meredakan demam.
"Jadi [penelitian] ini adalah salah satu bagian dari penelitian saya mengenai impact parasetamol ke kerang, karena saya sendiri meneliti efek dari beberapa kontaminan ke organisme, dalam hal ini kerang biru," katanya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Sabtu (02/10/2021).
Penelitian kontaminasi parasetamol sudah banyak dilakukan di negara lain, hingga akhirnya ia bersama tim memutuskan untuk menelitinya di Indonesia. Awalnya, dia beranggapan karena Indonesia adalah negara yang padat penduduk, tentunya akan ada banyak paparan limbah ini di laut.
Baca Juga: LIPI: Akibat Covid-19, Sampah APD Banyak Ditemukan di Teluk Jakarta
Lewat penelitiannya bersama tim pada Juli 2019 dan April 2021 di jurnal Environmental Science and Pollution Research, ia mengungkap parasetamol telah berdampak lumayan signifikan pada gonad, atau organ reproduksi kerang biru.
Dampaknya bahkan dapat diamati dalam transkripsi beberapa gen gonad kerang biru yang berubah, baik yang terlibat dalam reproduksi maupun apoptosis. Apoptosis adalah mekanisme biologi yang terkait pada proses kematian sel yang terprogam dan diatur secara genetik.
"Karena levelnya adalah molekular, jadi itu akan lebih terkait dengan fungsi atau fisiologi dari kerang tersebut," jelasnya. "Gen itu seperti blueprint dari kemampuan kita."
Kerang biru adalah biota yang berperan untuk menyaring air laut yang diketahui cukup bertahan terhadap kontaminan, sebagai pelindung ikan kecil di laut, dan menjadi indikator ideal bagi para ilmuwan untuk melihat seberapa jauh zat kimia mencemari laut. Dalam laporan lain, populasinya ini turun 40 persen dalam 50 tahun terakhir.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR