Nationalgeographic.co.id—Belum lama ini, para arkeolog menemukan sisa-sisa leluhur peradaban suku Maya di sebuah gua. Ya, sisa-sisa peradaban itu ditemukan di Gua Puyil di Tacotalpa, di negara bagian Meksiko selatan Tabasco.
Dikutip Histecho, sisa peradaban tersebut diyakini berusia 7.000 tahun. Tentu saja hal ini pun memberikan wawasan lebih lanjut tentang kehidupan sehari-hari mereka yang penuh teka-teki.
Temuan ini terdiri dari tiga tulang belulang manusia berupa kerangka, tengkorak, gigi, dan sisa-sisa bangsa Maya kuno lainnya. Dua di antaranya diperkirakan berusia sekitar 4.000 tahun. Sementara satunya lagi berusia jauh lebih tua, yakni sekitar 7.000 tahun.
Arekeolog Alberto Martos, dari Institut Nasional Antropologi dan Sejarah mengatakan bagi bangsa Maya, lokasi temuan itu adalah gua leluhur.
Arkeolog asal Meksiko itu mengatakan kerangka manusia yang ditemukan itu diindikasikan sebagai leluhur dari peradaban Suku Maya.
Lebih lanjut, para ahli menyebut usia tulang yang ditemukan sesuai dengan periode ketika manusia beralih dari pemburu ke gaya hidup menetap.
“Tujuh ribu tahun adalah apa yang baru saja kami tempatkan, yang merupakan periode transisi gaya hidup dari pemburu ke menetap. Ada kelompok berbeda selama ini yang menggunakan gua, jelas itu bukan gua domestik,” kata Martos seperti dikutip Histecho.
Baca Juga: Dari Mana Olahraga Sepak Bola Berasal? Ini Penjelasan Peneliti
Pada zaman prasejarah, gua tersebut mungkin digunakan untuk ritual dan kuburan untuk membuang sisa-sisa manusia.
“Bagi suku Maya, itu adalah gua leluhur. Gua ini digunakan oleh suku Maya karena mereka menghormati sisa-sisa (manusia) yang sudah ada dan meninggalkan sisa-sisa mereka sendiri di dalam," sambung Martos.
Para ilmuwan mengklaim kekeringan besar yang melanda Meksiko sekitar 1.000 tahun lalu lah yang memicu kematian suku Maya. Hal ini berdasarkan penelitian iklim pada masa peradaban kuno, dan menemukan curah hujan turun hingga 70 persen pada saat negara-kota di kawasan itu ditinggalkan.
Nick Evans, seorang mahasiswa PhD di University of Cambridge, yang juga bagian dari tim peneliti internasional mampu menghitung kondisi di Semenanjung Yucatan pada saat penurunan menggunakan sampel sedimen dari danau setempat.
“Peran perubahan iklim dalam runtuhnya peradaban Maya Klasik agak kontroversial, sebagian karena catatan sebelumnya terbatas pada rekonstruksi kualitatif, misalnya, apakah kondisinya lebih basah atau lebih kering,” tutur Evans.
"Studi kami merupakan kemajuan substansial karena memberikan perkiraan statistik curah hujan dan tingkat kelembaban yang kuat selama kejatuhan Maya,” jelas Evans.
Peradaban Maya terkenal karena tulisan hieroglifnya - satu-satunya sistem penulisan yang dikembangkan sepenuhnya dari Amerika pra-Columbus.
Sebagai salah satu peradaban paling dominan di Mesoamercia (sekarang Meksiko dan Amerika Tengah), mereka membangun kota dengan bangunan dengan pusat upacara yang rumit dan piramida batu yang menjulang tinggi untuk membentuk sebagian besar Meksiko, Honduras, Guatemala, dan El Salvador. Hal ini membuat Suku Maya dikenal sebagai salah satu suku yang hebat dalam bidang infrastruktur.
Baca Juga: Lewat Tinja, Ahli Singkap Perubahan Hidup Bangsa Maya di Masa Lalu
Bukan hanya itu, mereka juga membuat kemajuan di bidang pertanian, pembuatan kalender, dan matematika, mencapai puncaknya sekitar abad keenam Masehi.
Diperkirakan bangsa Maya menemukan konsep 'nol'. Ini memungkinkan mereka untuk mengerjakan perhitungan yang rumit dan membuat kalender yang terperinci dan akurat.
Tetapi pada tahun 900 M, kota-kota batu ditinggalkan, hal ini menciptakan banyak misteri seputar alasan kematian mereka. Selain kekeringan yang melanda Meksiko, teori lain tentang kematian mereka termasuk kelebihan populasi, konflik militer atau peristiwa lingkungan besar.
Baca Juga: Istana Peninggalan Suku Maya Ditemukan di Tengah Hutan Meksiko
Source | : | Histecho.com |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR