Bunyi talempong mengalun di tengah riuh Bandar Udara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat, Jumat (25/7) siang. Alat musik pukul tradisional khas Suku Minangkabau itu terdengar semakin syahdu kala dipadukan dengan bas, tamborin, jimbe, dan alat musik tiup tradisional Minangkabau, bansi. Sajian itu tidak seperti biasa di bandara.
Bersamaan dengan itu, satu per satu orang mulai mendekat, lalu berdiri membentuk setengah lingkaran. Beberapa orang terlihat bergerak mengikuti irama, sambil menyalakan telepon seluler (ponsel) untuk mengambil video atau gambar. Beberapa orang lainnya bergeming, seperti terbuai suguhan gratis nan menarik di tengah sengat matahari yang begitu terik.
Cuaca di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) siang itu memang panas karena mencapai 31 derajat Celsius. Wajar jika mereka yang hendak berangkat atau sekadar datang menjemput kerabat memilih tak berlama-lama berada di luar atau pelataran parkir. Begitu turun dari kendaraan, mereka buru-buru menuju terminal.
Alhasil, kehadiran Sanggar Saayun Sakato yang digawangi Buyung (36), Eko Febrianto (28), Roby Yuliandri (22), Jaka Mustika (29), dan Dolly Suryadi (24) di tengah kondisi itu menyedot perhatian karena berhasil menghadirkan suasana berbeda. Bukan saja karena mereka begitu terampil memainkan alat musik talempong, melainkan pilihan lagu yang mereka bawakan sepanjang pertunjukan sungguh memikat hati. Semuanya berpadu manis menyambut siapa pun yang menyempatkan waktu sejenak untuk menonton.
Talempong merupakan alat musik yang terdiri dari beberapa gong kecil berbahan kuningan. Bentuknya menyerupai bonang khas Jawa dalam perangkat gamelan. Talempong biasanya menjadi alat musik tradisional yang mengiringi tarian tradisi Minangkabau, seperti tari piring, tari pasambahan, dan tari gelombang.
Selain sebagai pengiring tari, alat musik ini juga biasa dimainkan dalam pertunjukan yang memerlukan sentuhan musik tradisional. Sering kali, talempong dikolaborasikan bersama alat musik modern, seperti organ, untuk memberikan sentuhan khas.
”Kali ini pun, kami mengolaborasikan talempong dengan alat musik modern. Untuk lagu, kami membawakan berbagai macam lagu, mulai dari lagu Minang, dangdut, hingga pop. Tujuannya tidak lain untuk menghibur mereka yang sedang berada di bandara, terutama para perantau yang baru tiba di Sumbar. Jadi wajar jika beberapa lagu Minang yang kami bawakan memang bertema perantau, seperti ’Anak Salido’ atau ’Mudiak Arau’,” kata Buyung.
Menurut Buyung, kehadiran musik tradisional talempong sejak pukul 10.00 hingga 17.00 selama dua hari lalu hingga hari Minggu mendatang diperuntukkan untuk menyambut kedatangan warga Minangkabau yang merantau ke berbagai daerah, termasuk ke luar negeri. ”Mereka semua pasti rindu dengan kampung halaman. Jadi, ketika tiba di sini pertama kali, alangkah indahnya jika yang mereka dengar pertama kali juga adalah sesuatu yang khas dari tanah kelahirannya,” tutur Buyung lagi.
Tema lagu yang mereka pilih memang sangat sesuai dengan kebiasaan orang Minangkabau, yakni merantau. Ambil contoh lagu berjudul ”Mudiak Arau” yang menceritakan tentang penantian seorang gadis Minang akan kekasihnya yang telah lama merantau ke negeri orang. Pada suatu waktu, sang kekasih pulang ke kampung halamannya. Si gadis tidak peduli apa pun kondisi kekasihnya, dia tetap menerimanya.
Selain itu, agar lebih menarik, Buyung dan rekan-rekannya tidak malu untuk bergoyang ketika memainkan lagu bertempo cepat. Aksi mereka justru mendapat sambutan meriah dari penonton. Setiap kali menuntaskan sebuah lagu, tepuk tangan membahana terdengar di tempat mereka tampil, yakni dekat terminal kedatangan domestik.
”Tambo lai uda... Tambo lai uda,” teriak sejumlah penonton, meminta tambahan satu lagu lagi. Para penonton juga diajak untuk bernyanyi. Sebuah mik disiapkan untuk pengunjung yang ingin berbaur dan larut bersama musik racikan Sanggar Saayun Sakato itu.
”Kehadiran mereka sangat menghibur dan pas sekali dengan suasana pulang kampung. Musik dan lagu yang mereka nyanyikan cukup mengobati kerinduan akan kampung halaman yang sebentar lagi akan saya jumpai,” kata Johan Tanjung (40), perantau asal Kota Pariaman yang tinggal di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Hal yang sama disampaikan Deni Yusnita (19), yang baru tiba dari Solo, Jawa Tengah. Gadis yang berkuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta itu hendak mudik ke kampung halamannya di Kabupaten Pasaman. Ia menuturkan, suguhan musik tradisional di bandara sangat bagus. ”Musik tradisional di bandara tentu bisa menjadi salah satu alternatif mengusir kebosanan, terutama bagi mereka yang harus menunggu jemputan dari kampung,” kata Deni.
Suguhan musik talempong rupanya juga menghibur warga yang hendak meninggalkan Sumbar. Rombongan Alex (38), Romli (38), dan Pepen (25) yang hendak mudik ke Karawang, Jawa Barat, misalnya. ”Penampilan mereka bagus. Meski bukan orang Minang, kami suka. Apalagi buat kami yang menunggu hampir enam jam di bandara. Bandara-bandara lain jarang menghadirkan musik beginian, banyakan lagu-lagu pop atau berbahasa Inggris,” kata Alex.
Menurut General Manager PT Angkasa Pura II Bandara Internasional Minangkabau Rian Hadihito, suguhan musik tradisional setiap jelang mudik Lebaran memang sudah dilakukan pihaknya sejak beberapa tahun terakhir. Sanggar Saayun Sakato akan tampil pada masa mudik hingga hari Minggu mendatang, lalu tampil lagi selama masa balik hingga tujuh hari setelah Lebaran. Perantau memang harus disambut.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR