Sejumlah penelitian eksperimental untuk terapi dan vaksin ebola menunjukkan hasil menjanjikan. Beberapa menunjukkan kemanjuran yang baik ketika diberikan kepada primata nonmanusia sengaja diinfeksi virus.
Namun sayang, upaya penanggulangan ini sudah mengalami kebuntuan di laboratorium. Pengembangan bagi obat atau vaksinnya sangat mahal, dan tak ada kans perusahaan farmasi bisa menutup biaya dari menjual suatu pengobatan ebola.
Walaupun wabah ebola memiliki profil tinggi, tapi wabah terbilang langka. Kurang dari 4.000 orang yang diketahui terinfeksi sejak ebola pertama diidentifikasi pada 1976. Vaksinasi luas di negara-negara Afrika tak akan membuat investasi ekonomi, itu pun jika negara yang terkena mampu membeli vaksin.
"Tidak ada keuntungan. Obat ebola bukanlah seperti obat-obatan kanker atau penyakit jantung atau bahkan penyakit menular yang lebih lazim seperti malaria," kata Tom Geisbert, profesor mikrobiologi dan imunologi di University of Texas Medical Branch, Galveston.
Alhasil, "pemain utama" telah menyerahkan bidang ini kepada perusahaan biotek skala kecil serta laboratorium yang didanai oleh pemerintah.
Dan tanpa sokongan dari para perusahaan farmasi besar merogoh dalam-dalam kocek, ilmuwan-ilmuwan seperti Geisbert yang terlibat pekerjaan ini harus terus berjuang mencari jalan bagaimana mendorong penelitian ini berhasil melewati regulasi.
Memang vaksin ebola bukan tergolong riset murah. Ahli virus Heinz Feldmann, yang sudah memimpin salah satu penelitian vaksin selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa ketika dia menemukan suatu perusahaan untuk mengajukan pembuatan (produksi) persediaan vaksin —sebagai prasyarat untuk masuk ke uji coba manusia— dia mendapati biaya satu batch percobaan berkisar antara $2 juta hingga $5 juta.
Gagasan untuk mencoba uji klinis dalam merespon wabah saat ini juga mustahil. "Tak ada satu pun dari kami yang ingin apa yang sedang kami kembangkan ini mengakibatkan masalah untuk manusia. Ini situasi yang sulit," ujar Geisbert.
Feldmann yang juga ahli tentang ebola dan mengepalai laboratorium virologi di National Institute of Allergy and Infectious Diseases, mengaku dirinya sempat didekati Médecins Sans Frontières (MSF) pada saat awal wabah merebak — yang minta saran apakah vaksin itu dapat melindungi tim yang akan dikirim ke lapangan. Tapi tak ada hasil dari diskusi tersebut.
Virus ebola telah menewaskan sedikitnya 729 orang sejak mulai merebak beberapa bulan terakhir diawali kasus epidemik di Guinea, Sierra Leone, dan Liberia.
Sebetulnya tidak jelas berapa banyak produk human-grade yang benar-benar ada; mungkin amat sedikit. Tidak jelas pula apakah pemerintah atau perusahaan yang memiliki persediaan dan patennya, bakal bersedia melepaskan obat eksperimental maupun vaksin.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR