Nationalgeographic.co.id—Penelitian baru dari Jhon Hopkins Medicine telah menemukan bahwa obat yang pertama kali dikembangkan untuk mengobati penyakit Alzheimer, skizofrenia dan penyakit sel sabit ternyata dapat mengurangi obesitas. Obat ini belum memiliki nama karena masih bersifat eksprimental, namun karena fungsi dan kemampuannya ia disebut 'sepupu viagra'.
Berdasarkan hasil pengujian, obat tersebut mampu membakar lemak, mengurangi perlemakan hati dan meningkatkan fungsi jantung sehingga bisa mengurangi tingkat obesitas. Hebatnya, efek tersebut terjadi tanpa mengurangi dalam asupan makanan atau aktivitas sehari-hari. Temuan ini, yang dipublikasikan secara online pada 7 Oktober di Journal of Clinical Investigation.
Peneliti senior David Kass, MD, Abraham dan Virginia Weiss, Profesor Kardiologi di Fakultas Kedokteran, Johns Hopkins University School of Medicine dalam rilisnya mengatakan, penelitian tersebut dilakukan pada tikus jantan dan tikus betina yang hormon seksnya dikurangi dengan membuang indung telurnya, sehingga meniru menopause. Wanita pascamenopause diketahui memiliki peningkatan risiko obesitas di sekitar pinggang mereka serta risiko penyakit kardiovaskular dan metabolisme.
Para peneliti menemukan, bahwa inhibitor kimia atau zat yang menghambat enzim PDE9 dapat merangsang sel untuk membakar lebih banyak lemak. Menghambat PDE9 tidak menyebabkan perubahan ini pada tikus betina yang memiliki ovarium, sehingga status hormon seks betina penting dalam penelitian ini.
"Saat ini, tidak ada pil yang terbukti efektif untuk mengobati obesitas parah, namun obesitas seperti itu adalah masalah kesehatan global yang meningkatkan risiko banyak penyakit lain," kata para peneliti.
Menurut para peneliti, yang membuat temuan mereka menarik adalah bahwa mereka menemukan obat oral yang mengaktifkan pembakaran lemak pada tikus. Dan itu dapat mengurangi obesitas dan penumpukan lemak di organ seperti hati dan jantung yang berkontribusi terhadap penyakit, dan itu adalah hal yang baru.
Baca Juga: Viagra Dapat Menyembuhkan Hipotermia, Perlukah Pendaki Membawanya?
Studi tersebut mengikuti penelitian yang dilaporkan oleh laboratorium yang sama pada tahun 2015 yang pertama kali menunjukkan enzim PDE9 hadir di jantung dan berkontribusi terhadap penyakit jantung yang dipicu oleh tekanan darah tinggi. Memblokir PDE9 meningkatkan jumlah molekul kecil yang dikenal sebagai GMP siklik, yang pada gilirannya mengontrol banyak aspek fungsi sel di seluruh tubuh. PDE9 adalah sepupu enzim protein lain yang disebut PDE5, yang juga mengontrol GMP siklik dan diblokir oleh obat-obatan seperti Viagra.
Berdasarkan hasil ini, para peneliti menduga penghambatan PDE9 dapat meningkatkan sindrom kardiometabolik (CMS). Sindrom tersebut merupakan sebuah konstelasi kondisi umum termasuk tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, kolesterol dan trigliserida, dan kelebihan lemak tubuh, terutama di sekitar pinggang. CMS dianggap sebagai pandemi oleh para ahli medis dan merupakan faktor risiko utama penyakit jantung, stroke, diabetes tipe 2, kanker, dan COVID-19.
Sementara inhibitor PDE9 tetap eksperimental, mereka telah dikembangkan oleh beberapa perusahaan farmasi dan diuji pada manusia untuk penyakit seperti Alzheimer dan sel sabit. Studi tikus saat ini menggunakan inhibitor PDE9 yang dibuat oleh Pfizer Inc. yang pertama kali diuji untuk penyakit Alzheimer.
Baca Juga: Tiga Gen yang Digdaya Mencegah Kegemukan, Kabar Sains Terbaru
Meskipun akhirnya ditinggalkan untuk penggunaan ini. Di antara dua uji klinis yang dilaporkan, lebih dari 100 subjek menerima obat ini, dan ternyata dapat ditoleransi dengan baik tanpa efek samping serius yang merugikan. Inhibitor PDE9 yang berbeda sekarang sedang diuji untuk gagal jantung pada manusia.
Untuk menguji efek dari inhibitor PDE9 pada obesitas dan sindrom kardiometabolik, para peneliti menempatkan tikus pada diet tinggi lemak yang menyebabkan berat badannya naik dua kali lipat, lipid darah meningkat dan diabetes setelah empat bulan. Sekelompok tikus betina menjalani operasi pengangkatan indung telur, dan sebagian besar tikus juga memiliki tekanan darah tinggi untuk meniru sindrom kardiometabolik. Tikus kemudian ditugaskan untuk menerima inhibitor PDE9 atau plasebo melalui mulut selama enam hingga delapan minggu ke depan.
Pada tikus betina tanpa indung telur (model pascamenopause), perbedaan persentase perubahan berat badan rata-rata antara kelompok obat dan plasebo adalah -27,5 persen, dan pada jantan adalah -19,5 persen. Massa tubuh tanpa lemak tidak berubah pada kedua kelompok, demikian juga konsumsi makanan sehari-hari atau aktivitas fisik.
Baca Juga: Cara Sains Terbaru Melindungi Kesuburan Anak Lelaki Obesitas
Inhibitor PDE9 mampu menurunkan kolesterol darah dan trigliserida, dan mengurangi lemak di hati ke tingkat yang ditemukan pada tikus yang diberi diet normal. Jantung juga membaik dengan penghambatan PDE9, dengan fraksi ejeksi, yang mengukur persentase darah yang meninggalkan jantung setiap kali jantung berkontraksi, relatif lebih tinggi sebesar 7 hingga 15 persen.
Kemudian, massa jantung (hipertrofi) meningkat 70 persen lebih sedikit dibandingkan dengan plasebo. Peningkatan massa jantung adalah bukti stres jantung abnormal. Namun, setelah ini diturunkan oleh inhibitor menunjukkan stres pada jantung berkurang.
Untuk diketahui, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, lebih dari 40 persen orang yang tinggal di Amerika mengalami obesitas dan 43 persen wanita Amerika di atas usia 60, menopause yang lama, dianggap obesitas. Kass mencatat bahwa jika temuan labnya pada tikus berlaku untuk orang, seseorang dengan berat 250 pon bisa kehilangan sekitar 50 pon dengan inhibitor PDE9 oral tanpa mengubah kebiasaan makan atau olahraga.
"Saya tidak menyarankan untuk menjadi pemalas dan minum pil, tapi saya menduga bahwa dikombinasikan dengan diet dan olahraga, efek dari penghambatan PDE9 mungkin lebih besar," kata Kass.
Selanjutnya, kata Kass, adalah pengujian pada manusia untuk melihat apakah inhibitor PDE9 menghasilkan efek yang sama pada pria dan wanita pascamenopause. "Inhibitor PDE9 sudah dipelajari pada manusia, jadi studi obesitas klinis seharusnya tidak terlalu jauh," kata Kass.
Baca Juga: Makan Berlebihan Bukanlah Penyebab Utama Obesitas, Kata Studi Terbaru
Source | : | Johns Hopkins Medicine,Journal of Clinical Investigation |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR