“Memang ada dua teori,” ujar Hasan Djafar, seorang arkeolog, epigraf, dan ahli sejarah kuno Indonesia. “Teori lama, candi adalah makam.” Kemudian dia melanjutkan, “Teori baru, candi adalah monumen untuk mengenang raja.”
Mang Hasan—demikian sapaan akrabnya—meskipun telah berusia 74 tahun, selalu menampakkan semangat yang meluap-luap tatkala memberikan penjelasan.
Siang itu, dia melakukan observasi bersama Gelar Nusantara yang tengah melakukan pelancongan budaya ke Trowulan, Mojokerto. Mereka berjalan ke sebuah repihan bangunan masa Kerajaan Majapahit. Warga menjulukinya Gapura Wringin Lawang karena pernah ada pohon beringin besar di samping gapura yang disusun oleh batu bata merah itu.
Di bawah naungan bayang-bayang keteduhan pohon, Mang Hasan memaparkan tentang bentuk gapura pada zaman Majapahit, sekitar abad ke-14 hingga awal abad ke-15.
“Gapura itu bukan candi,” ujar Mang Hasan. “Tetapi ada tempat lain di Trowulan ini yang menyebut gapura dengan sebutan candi.” Ungkapan candi untuk menyebut gapura ini merupakan salah kaprah, demikian hematnya. “Bahkan hampir seluruh peninggalan berupa struktur bangunan di sini disebut candi. Ini hanyalah kesalahan dalam penyebutan.”
Gapura merupakan bangunan penanda pintu gerbang ke sebuah kawasan kompleks bangunan. Di Majapahit terdapat dua macam gapura. Gapura terbuka seperti Wringin Lawang, tanpa atap, hanya bangunan kembar itu disebut gapura bentar, Mang Hasan berkata. Jenis gapura lain lagi adalah bangunan kembar dengan atap yang disebut gapura paduraksa. “Dulu di kiri kanannya adalah tembok,” ujar Mang Hasan, “sebab gapura merupakan pintu gerbang.”
Kemudian dia berjalan di bawah terik mentari menuju Gapura Wringin Lawang.
“Nah, ini dari petanya Nat Geo,” ujarnya seraya membuka lipatan poster dua sisi Kota Agung yang Sirna dan yang merupakan sisipan National Geographic Indonesia edisi September 2012.
Lembaran itu kerap dibawa Mang Hasan selama observasi ke situs-situs repihan Majapahit pada siang itu. Setelah dibentangkan, Mang Hasan menunjuk sebuah kawasan yang dikelilingi oleh jaringan kanal,“ Paling tidak pusat kotanya di sini." Kemudian alat penunjuknya bergeser ke pinggiran, "Dan di sinilah Gapura Wringin Lawang.”
Sebuah gapura akan mengantarkan siapa saja ketika memasuki kompleks bangunan. Di lembaran sisi seni, Mang Hasan menunjukkan hasil rekonstruksi rumah zaman Majapahit yang repihannya masih bisa dijumpai di Pusat Informasi Majapahit, Museum Trowulan. “Di kompleks tertentu ada tembok kelilingnya lagi.”
“Halaman di tata seperti ini,” ujarnya sembari menunjuk kembali ilustrasi pelataran rumah zaman Majapahit yang disusun atas batu-batu kali yang dipadukan dengan batu bata. “Ini bukan rekonstruksi, tetapi kita menggali dan menjumpainya sudah dalam keadaan seperti ini.”
Poster National Geographic memerikan sisi seni dan sisi peta. Dalam sisi seni, digambarkan keruangan Metropolitan Majapahit dari aspek bentang alam, kompleks permukiman hingga rumah warganya. Sementara, sisi peta menunjukkan lokasi wilayah kekuasaan Majapahit dan suasana kehidupan di sudut tepian kanal kotanya.
Siang itu Mang Hasan memandu ke beberapa situs penting tinggalan metropolitan kuno yang dibangun dengan teknologi dan tata kelola pengairan modern. Situs ini merupakan satu-satunya kota kuno yang ditemukan di Indonesia. “Inilah Kota Majapahit!”
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR