Menurut Yohana, ketua koperasi perempuan penenun Kampung Tumbak, satu orang perempuan dari kelompok pro tambang sudah bergabung dengan mereka.
Pada 17 Maret 2010, Rikardus dan warga penolak tambang pernah menanyakan izin usaha pertambangan di lingko mereka. Bupati dan Wakil Bupati mengatakan, tanah ulayat warga Tumbak tidak masuk wilayah pertambangan.
Namun, yang terjadi di lapangan sebaliknya. Perusahaan terus-menerus berusaha menguasai lingko warga. Ketika warga akhirnya menduduki lokasi, terjadilah kriminalisasi.
Di Satar Teu, empat warga, yaitu Klemens Mon, Peter Ladas, Fransiskus Brahi, dan Herman Lau, yang masih menolak kehadiran PT AM tak lagi diajak musyawarah di rumah gendang.
Padahal, di kampung itu rumah warga berdekatan. Mereka satu keturunan garis ayah. !break!
Menghadapi perusahaan
Kasus Tumbak dan Satar Teu hanya sepotong potret praktik tambang di tanah Manggarai (Congka Sae). Warga harus berhadapan dengan perusahaan. Sendirian.
Aloysius Hasan mengatakan, "Kami terus dikejar-kejar pihak perusahaan. Saya tidak mau repot, ya, akhirnya kami terima."
Ia mengatakan, masyarakat memberi banyak syarat kepada perusahaan, di antaranya untuk menjaga lingkungan dan mengamankan sawah. Jika perusahaan melanggar syarat-syarat tersebut, mereka bersedia angkat kaki.
Menurut Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation-Ordo Fratrum Minorum (JPIC-OFM) Indonesia Peter Aman OFM, "Masyarakat hampir tidak memiliki referensi historis berhadapan dengan korporasi. Mereka tidak punya pengalaman cukup dan pengetahuan cukup."
Sementara itu, budayawan Antony Bagul menilai pemerintah tidak menjalankan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator untuk kepentingan masyarakat.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR