"Bisa ngga, ya? tanya Muhammad Fauzi, seorang lelaki berkepala plontos yang menjadi pengemudi kami. Fauzi kerap menghentikan mobil untuk memeriksa seberapa parah jalan yang akan dilalui. Dia turun dengan berkacak pinggang sembari memeriksa kondisi jalan. "Saya khawatir karena kubangan seperti ini bisa menyebabkan patah as."
Fauzi merupakan pengemudi yang sangat mengutamakan kenyamanan berkendara, meski kondisi jalan buruk sangat. Beberapa tahun silam, dia kerap menjadi pengemudi yang mengantar mobil baru milik sultan Bima yang terakhir.
Sejak kami beringsut dari Kore menuju Semenanjung Sanggar, pemandangan yang sepintas seperti padang rumput itu pada kenyataannya adalah ladang-ladang jagung. Jagung telah mengubah sebagian wajah jazirah Sanggar, dari sabana yang dicumbui kuda-kuda menjadi ladang yang subur untuk jagung.
Rupa jalan sepanjang Kore hingga Labuan Kenanga memang bervariasi: aspal terkelupas, amblas, jalan bertabur batu berkilo-kilometer, pasir, menyeberangi beberapa sungai kering berbatu dan sungai basah, hingga jalan tanah berlumpur.
Jalan aspal di bukit-bukit Boro, sekitar lima kilometer dari Kore, sebagian aspalnya telah lepas atau terkelupas. Selama perjalanan itu sinyal seluler nyaris hilang atau lenyap sama sekali. Sinyal yang minim justru akan menguras baterai gawai.
Meski di dalam kabin mobil, bukan pesawat udara, kami memilih "air plane mode" untuk gawai selular kami di beberapa kawasan tanpa sinyal (blank area). Baterai pun lebih hemat.
!break!Sekitar empat kilometer dari Boro, kami masih melintasi jalan aspal yang hanya cukup untuk satu mobil. Dari atas bukit, kami menyaksikan gugusan permukiman Desa Piong. Seorang warga Desa Sanggar pernah berkata kepada saya soal toponimi yang menurutnya tidak ada artinya bagi bahasa setempat.
"Di Sanggar ada Desa Kore, Desa Piong, dan Desa Towan," ujarnya. "Mungkin ada hubungannya dengan pendatang dulu yang mungkin berasal dari Korea, Pyongyang, dan Taiwan karena tidak ada kata dalam bahasa kami yang berhuruf mati."
Sebelah barat desa Piong terdapat Desa Oi Saro, permukiman terakhir dekat mata air Tampuro. Dinamakan demikian untuk mengenang sebuah pertempuran besar di sekitar mata air tadi. Selepas desa ini kami memang tidak menyaksikan satu rumah pun untuk berkilometer jauhnya. Ladang jagung diselingi sabana dengan kuda dan sapi menyenggut rumput.
Gunung Tambora siang itu tertutup kabut. Namun dua kaldera purbanya tampak bagai sepasang bisul. Dalam perjalanan di timur laut Gunung Tambora, mata kiri memandang gunung, sementara mata kanan memandang lautan. Namun, pengemudi jangan sampai terlena keanggunan kawasan ini. Jalan-jalan yang amblas, karena aliran air yang menggerus pasir di bawahnya, menjadi ancaman petaka berkendara.
Jalan pesisir utara Semenanjung Sanggar itu sadis. Semua kendaraan harus melintasi Sungai Sori Marai dengan kedalaman selutut orang dewasa. Kami beruntung karena diberkahi cuaca cerah. Apabila huja, sungai Sori Marai biasanya meluap, dan kami harus menanti surut. Jika Sori Marai meluap, ya sorry sorry saja kalau perjalanan kian memakan waktu.
Perjalanan Tim Rute Utara dari Desa Kore ke Desa Pancasila di pinggang Tambora tidak terpaut berbeda jarak yang signifikan dengan perjalanan Tim Rute Selatan dari Desa Kempo ke Desa Pancasila. Perbedaan yang ada adalah karena waktu. Kami harus menempuh hampir enam jam perjalanan, sementara mereka menempuh waktu lebih singkat, sekitar dua setengah jam.
!break!Di tepian pantai yang berbatasan dengan tebing bukit, Fauzi kembali menghentikan mobilnya. Kami heran karena rupa jalan dalam kondisi baik. "Ada perempuan mandi," ujarnya sembari memundurkan mobil. "Tidak pernah lihat perempuan mandi di sini kan?"
Hal yang dimaksud Fauzi adalah sekawanan kerbau yang tengah menikmati hari-hari mereka dengan berendam di kubangan tepi pantai. Kami berseloroh dan tertawa, aktivitas wajib dalam perjalanan.
Perjalanan ini menjejaki Nusa Tenggara Barat, namun saya merasa kami berada di Nusa Tawa Bersama. Saya menulis kisah ini di sebuah vila kayu di tengah ratusan hektare kebun kopi tinggalan Hindia Belanda. Bersama kicauan burung, bunyi lonceng dan lenguhan sapi, juga suara canda babi-babi hutan penghuni pinggang Tambora.
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR