Dentang lonceng pagi itu menusuk jantung telinga. Seorang petugas Koperasi Unit Desa Mina Fajar Sidik menghantamkan pemukul besi ke lonceng seperti kepala rudal itu. Suaranya yang bertalu-talu menandai lelang ikan bakal segera dibuka.
Sejak kemarin hari, para nelayan telah merapat di tempat pelelangan ikan (TPI) Mina Fajar Sidik, Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Saat dini hari, nelayan telah menurunkan hasil tangkapannya dari Laut Jawa. Ikan-ikan dimasukkan dalam cepon—keranjang bambu, lalu ditata rapi berderet.
Buat menyambut para pembeli, cepon-cepon kosong telah siap di lantai pelelangan. Di sudut yang lain, ikan, udang, cumi, sotong, rajungan berjajar-jajar.
Kekayaan Laut Jawa, yang tersembunyi di bawah perairan, seakan tumpah-ruah di lantai pelelangan ikan terbesar di Subang itu. Ada ikan pepete yang berkemilau keperakan, ada hiu yang bertutul-tutul. Yang lain: barakuda, tenggiri, tongkol, ikan pari, kakap merah, kerapu, baronang, cumi-cumi, sotong, udang.
Hasil dari Laut Jawa yang dilelang di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan, yang dikelola Koperasi Unit Desa Mina Fajar Sidik, mencapai 7,3 ribu ton, senilai Rp96,5 miliar pada 2012. Ini sumbangan terbesar di Kabupaten Subang. Para nelayan di muara Blanakan khawatir dengan rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya, yang akan mengurangi daerah tangkapan ikan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Perahu-perahu nelayan lokal dan pendatang hilir-mudik di muara yang keruh. Saat magrib menjelang, perahu-perahu berpendar semarak. Baju-baju lusuh para awak kapal dijemur di atas perahu. Bendera Merah Putih yang geripis berkibar-kibar. Kelelahan membayang di wajah nelayan: kulit gelap, rambut awut-awutan, kumis dan jenggot tumbuh subur.
Secara statistik, pada 2012 saja, produksi ikan dari tempat lelang ini mencapai 7,3 ribu ton, senilai Rp96,5 miliar. Ini nilai terbesar di Subang—nyaris separo dari produksi seluruh kabupaten.
Detak perikanan tangkap itu memutar roda ekonomi di seputar tempat pelelangan. Rumah-rumah berderet: kedai, pasar ikan, dan lapak-lapak yang menjual pernak-pernik kebutuhan rumah tangga.
Satu lagi yang khas, tapi mengoyak batin: rumah-rumah gemerlap untuk gairah asmara semalam. Perempuan-perempuan muda berpakaian sexy memikat: tepi rok dua jengkal di atas dengkul atau celana ketat yang cekak. Mereka meriung di teras-teras berlampu redup. Kongkow-kongkow, bermain kartu, merokok. Satu dua perempuan merajahkan kupu-kupu di punggung dan lengan. Sapaannya penuh godaan halus terselubung.
Kala para nelayan banyak bersandar, musik dangdut menyobek malam, meruntuhkan daun telinga. Sebagian nelayan menumpahkan cita rasa seninya dengan berkaraoke ria di ruangan sempit temaram. Suara-suara sumbang merambat di udara hingga tengah malam.
Di pelelangan ikan Blanakan, nelayanlah yang menjadi juragan dan para pembelinya disebut bakul.
Sambil menyeruput secangkir kopi susu yang hangat, Ujang Suherman, salah seorang bakul, menunggu lelang dibuka. Dia bersepatu boot, dengan rompi yang melapisi kaos berlengan panjang. Lelaki dari Rawameneng, Blanakan, itu saban hari turut perlelangan. "Saya kirim ikannya ke Wadas, Karawang," tuturnya. Hasil pembeliannya diterima seorang juragan di sana, lalu dijual kembali.
Sekali lelang, Ujang menghabiskan Rp 2 – Rp 2,5 juta. "Itu kalau pas musim ikan," ucapnya, "saya mah hanya memakai sepeda motor. Yang pakai mobil bisa sampai Rp 15 juta ke atas, lalu dikirim ke Jakarta."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR