PELABUHAN Cilamaya memang menciptakan dilema tiada terperi. Para nelayan pantai utara Karawang akan kehilangan daerah tangkapannya. Bagi nelayan Pasirputih, lokasi pelabuhan adalah tempat mencari rajungan. Hilangnya lahan perairan itu akan menyurutkan Pasirputih sebagai sentra rajungan Karawang, yang pernah dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nelayan-nelayan yang melaut hingga Kalimantan dan Sumatra akan menempuh jarak lebih jauh, dengan kebutuhan solar yang bertambah. Risiko kecelakaan di laut juga meningkat.
Sementara itu, pemerintah juga masih terus menimbang-nimbang pelabuhan yang sejatinya ditujukan buat investor Jepang ini. Sayangnya, dedikasi itu mengorbankan objek vital nasional PHE ONWJ.
Nelayan di Desa Pasirputih, di pesisir Karawang, Jawa Barat menggantung hidup mereka pada rajungan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)
Penuh pertimbangan, sehingga malah mempertebal dilema. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Bappenas masih mengkaji ulang pelabuhan Cilamaya. Kajian itu untuk menimbang berbagai masalah dan tantangan. Pertama, pelabuhan akan bersinggungan dengan pipa minyak Pertamina Hulu Energi. Kedua, proyek raksasa ini dapat mengurangi lahan pertanian produktif.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan memastikan pembangunan pelabuhan Cilamaya bisa dilakukan, dengan biaya proyek dari pihak swasta murni, tanpa uang negara. Pada 2014, Jepang menanam investasi di Jawa Barat senilai Rp34 triliun atau US$2,7 miliar. Jawa Barat menjadi target investasi Jepang lantaran wilayahnya dipandang strategis.
Salah satu sasaran investasi itu adalah pelabuhan Cilamaya. Hanya saja, pemerintah provinsi khawatir pelabuhan akan mengurangi sawah yang menyurutkan Karawang sebagai lumbung beras Jawa Barat. Selain itu, pelabuhan juga akan mengganggu produksi minyak dari lepas pantai utara Jawa.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR