Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membentuk tim khusus menangani kasus perbudakan yang melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Kepulauan Aru, Maluku. Hal tersebut sebagai hasil rapat terbatas membahas illegal fishing yang dipimpin Presiden dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Selasa (07/04).
"Semua sepakat, Presiden, Wapres, kita semua sepakat harus sudah saatnya kita menghentikan praktek illegal fishing apalagi Benjina sekarang ini berkaitan dengan isu perbudakan sudah menjadi bahan perbincangan internasional," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi seusai rapat terbatas di kantor Presiden, Jakarta, Selasa (07/04) seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.
Satgas Khusus Penegakan Hukum beranggotakan dari kejaksaan, kepolisian, panglima dan semua kementerian dan lembaga untuk saling membantu menyelesaikan kasus tersebut."Nanti kejaksaan, kepolisian, bantu memberikan orang-orangnya. Jadi mirip Satgas yang ada tapi lebih ke penegakan hukumnya," papar Susi.
“Setiap kapal ilegal melakukan kejahatan di Indonesia harus kita tindak, tidak ada target waktu, orang juga nyurinya datang lagi datang lagi. Yang pasti dengan mereka ngumpet di negara tetangga kita, mereka akan lebih mudah masuk ke negara kita. Pasti mereka akan tetap nyuri di perairan kita, jadi tadi Pak Presiden menegaskan meminta Panglima, Kapolri, Kejaksaan untuk solid mendukung penenggelaman kapal adalah diskresi sebuah negara yang tidak bisa dipertanyakan, tidak harus dipikirkan,” jelas Susi.
Adanya Perbudakan
Dugaan pelanggaran usaha perikanan yang melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, terus berkembang luas. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapatkan fakta terbaru bahwa pelanggaran yang terjadi sudah meluas ke berbagai sektor.
Menurut Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa, pelanggaran yang terjadi tidak hanya mengarah pada ilegal fishing saja, tapi juga praktek suap, kolusi dan perbudakan. Fakta tersebut didapat setelah tim pencari fakta KKP terjun langsung ke Benjina.
“Update terkini, disana ada dugaan praktek perbudakan. Kita saat ini terus melakukan inventarisasi masalah dan mendata berapa jumlah ABK (anak buah kapal, Red) yang ada disana,” demikian dijelaskan Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota di Kantor KKP, Jakarta pada Selasa (07/04).
Dugaan praktek perbudakan terjadi, jelas Ota, setelah tim melakukan pengumpulan data melalui wawancara kepada para ABK secara langsung di Benjina. Hasilnya, para ABK dengan caranya masing-masing mengungkapkan tindakan tak terpuji dalam praktek ketenagakerjaan yang dilakukan PT PBR.
Karenanya, setelah mendapatkan keterangan mengejutkan tersebut, KKP mengambil keputusan untuk memindahkan ABK ke Tual. Namun, saat hendak dipindahkan, tidak semua ABK mau dan hanya 322 orang saja yang berhasil dibawa ke Tual dan ditempatkan di tempat yang aman dan nyaman. Dari seluruh ABK yang dipindahkan tersebut, terdapat ABK dari Myanmar, Kamboja dan Thailand.
“Kita memindahkan mereka, karena tidak ada jaminan begitu tim kembali ke Jakarta, ABK mendapat perlakuan yang wajar. Kita sebisa mungkin memberikan perlindungan dini kepada para ABK,” ungkap Ota.
Dari keterangan para ABK, diketahui kalau dalam keseharian bekerja mereka mendapatkan perlakuan berupa penganiayaan dan praktek kerja paksa. Fakta tersebut, kata Ota, sangat memprihatinkan karena praktek kerja paksa merupakan kejahatan kemanusian dan termasuk dalam pelanggaran hak azasi manusia (HAM) berat.
Selain itu, tim juga menemukan dugaan adanya penggunaan ABK asing tidak sesuai prosedur dan salah satunya melalui praktek pemalsuan dokumen ABK. Karenanya, sempat muncul perbedaan jumlah data ABK di dokumen dengan di lapangan langsung.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR