Nationalgeographic.co.id - Gletser berfungsi sebagai menara air dunia, dengan perkiraan 1,9 miliar orang bergantung pada gletser untuk air minum dan pertanian.
Namun sejak 2015, diperkirakan 300 miliar ton es mencair dari gletser pegunungan tinggi setiap tahun. Jika terus terjadi, gletser akan hilang sama sekali di akhir abad ini. Para peneliti di Kanada, Prancis, Swiss, dan Norwegia mengumpulkan citra satelit dalam kurun waktu 20 tahun. Citra satelit ini diambil dari kamera khusus pada satelit NASA yang disebut Terra. Kamera ini mengambil gambar lebih dari 210.000 gletser di seluruh dunia.
Analisis baru, yang diterbitkan di jurnal Nature, menemukan bahwa antara tahun 2000 dan 2004, gletser kehilangan 227 miliar metrik ton es per tahun. Peningkatan terjadi antara 2015 dan 2019, menjadi 298 miliar ton per tahun. Gletser yang mencari mengalir ke sungai dan ke lautan, menyebabkan kenaikan permukaan laut yang diamati selama 20 tahun terakhir. Mencairnya gletser mengancam negara-negara pesisir seperti Indonesia, Banglades, Panama, dan Belanda.
Di beberapa daerah pedalaman, jutaan orang bergantung pada salju yang mencair untuk sumber air bersih. Gletser menawarkan sumber air cadangan di luar musim dingin, terutama di Andes, Himalaya, dan Alaska. "Setelah gletser itu hilang, mereka tidak memiliki penyangga," kata Brian Menounos, profesor ilmu Bumi di University of Northern British Columbia.
Baca Juga: Arktika Rusia Kehilangan Miliaran Ton Es Karena Iklim Menghangat
Orang-orang yang tinggal di Andes Cili menghadapi musim panas yang kering, dari Desember hingga Februari. Seiring dengan berkurangnya gletser, musim panas ini makin terasa berat. Untuk mengatasinya, tim pakar iklim berencana membangun gletser buatan untuk menyediakan sumber air di dataran tinggi di pegunungan Cajon del Maipo.
50 stupa es akan dibuat, di mana air yang melimpah dikumpulkan di musim dingin dan dibekukan di malam hari. Gletser buatan ini akan digunakan di bulan-bulan musim panas yang kering. Jika berhasil, gletser dapat menyimpan lebih dari 25 juta galon air, cukup untuk menopang 100.000 orang selama tiga bulan.
"Kami mencari solusi yang memungkinkan untuk menyimpan air dalam waktu lama di pegunungan. Kemudian mengirimkannya ke masyarakat di hilir," kata direktur proyek Enrique Gellona.
Proyek ini terinspirasi oleh inisiatif serupa di lembah Ladakh India, yang terletak di antara pegunungan Himalaya dan Karakoram. Pada 2013, Sonam Wangchuk, seorang insinyur di Ladakh, menciptakan stupa es pertama sebagai solusi untuk kondisi ekstrem. Kekeringan melanda wilayah tersebut, tulis Matteo Spagnolo, ahli geosains di University of Aberdeen di Inggris dalam Conversation.
Wangchuk dan timnya menggunakan pipa panjang untuk mengalirkan air dari sungai dan memompanya ke bawah menuju lembah. Kemudian, mereka menyemprotkan air dari pipa vertikal, menciptakan air mancur. Pada malam hari, mereka menyalakan pipa semprot dan air membeku saat jatuh ke tanah. Pada akhirnya, mereka membangun tumpukan es berbentuk kerucut setinggi 20 kaki yang menyimpan 40.000 galon air.
Baca Juga: Bencana akibat Mencairnya Gletser Himalaya Itu Sudah Diwanti-wanti
300.000 orang yang tinggal di Lembah Ladakh menghadapi masalah yang sama seperti di Cajon del Maipo Cili. Air dibutuhkan untuk menopang mata pencaharian, tetapi perubahan pola cuaca menyusutkan gletser, mengintensifkan kekeringan dan memicu banjir bandang.
Hasilkan Energi Melimpah dari Tenaga Angin, Skotlandia Siap Ekspor Hidrogen Besar-besaran
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR