Analisis baru dari para peneliti Inggris menunjukkan sekelompok tanaman yang sebelumnya diabaikan bisa menjadi kunci untuk menyediakan bioenergi berkelanjutan untuk masa depan.
Bahan bakar bio atau biofuel tradisional seperti bioetanol dihasilkan dari tanaman pangan seperti jagung dan tebu yang membutuhkan lahan pertanian terbaik—komoditas dalam pasokan yang relatif tak cukup banyak. Persaingan antara tanaman sebagai makanan dan bahan bakar mengartikan bahwa produksi bioetanol skala besar masih kontroversial.
Tapi tanaman yang melakukan fotosintesis melalui sistem Crassulacean Acid Metabolism (CAM), dapat memungkinkan produksi bioenergi tanpa mengganggu persediaan makanan. Tanaman CAM telah beradaptasi untuk tumbuh di tanah kering dan semi kering, di mana curah hujan yang rendah atau tidak terduga membuat pertanian konvensional sulit dilakukan.
Tanah semi-kering diperkirakan berkisar 12-18% dari luas daratan dunia dan sementara ini beberapa diantaranya sudah digunakan untuk pertanian. Sebagian besar merupakan lahan penggembalaan yang relatif tidak produktif.
Tanaman CAM dapat berkembang di sini karena menyimpan air lebih efektif daripada tanaman tradisional lain. Mereka menangkap karbon dioksida dari udara di malam hari dan mengubahnya menjadi malat, yang merupakan bahan bakar fotosintesis pada siang hari.
Dengan menghindari kebutuhan untuk pertukaran gas di siang hari, mereka mengurangi penguapan melalui daun-daunnya dan membutuhkan lebih sedikit air per unit biomassa dibandingkan tanaman lain.
Meskipun terkenal, tanaman dengan sistem CAM hampir tidak diteliti sebagai tanaman berpotensi menjadi bioenergi. Namun, analisis baru oleh para peneliti dari Universitas Oxford, Tropical Power, Imperial College London dan Royal Botanic Gardens di Kew, mengatakan bahwa spesies CAM seperti Opuntia ficus-indica (kaktus pir) dan Euphorbia tirucallli bisa memberikan kontribusi besar untuk produksi biogas berkelanjutan.
Pengusaha bioenergi Mike Mason, yang memimpin pekerjaan, menjelaskan bahwa produksi listrik yang dihasilkan dari biogas selama ini sangat fleksibel, "Kita bisa meningkatkan atau menurunkannya karena permintaan naik atau turun. Masalahnya, tidak ada banyak sumber daya untuk mengubahnya menjadi biogas dan itu luar biasa mahal."
"Tapi tanaman CAM, yang dapat tumbuh dengan murah di lahan marjinal ini memiliki potensi untuk mengubah hal tersebut," tambahnya.
Mason memperkirakan bahwa itu akan memakan antara 4% dan 12% lahan semi-kering yang tersedia untuk menghasilkan 5PWh produksi listrik per tahun, setara dengan yang dihasilkan dari gas alam.
Produk sisa hasil pengolahan anaerobik, limbah air kaya nutrisi dan digestate (limbah biogas) padat, dapat digunakan kembali untuk irigasi atau sebagai pupuk. Limbah ini juga dapat digunakan untuk bentuk budidaya yang sangat produktif dan berpotensi meningkatkan produksi pangan dari lahan tempat tumbuhnya tanaman biofuel.
"Ini adalah perpaduan yang berharga dari literatur dan data baru," tulis ahli biofuel Richard Murphy dari Universitas Surrey, Inggris. Namun, ia memperingatkan bahwa pertimbangan yang cermat perlu diberikan kepada isu-isu seperti siklus nutrisi, infrastruktur listrik dan pengelolaan konservasi untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang dari agro-ekosistem tersebut.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR