Setiap daerah di bumi Nusantara memiliki makanan khas masing-masing. Bahkan, cara memasaknya pun berbeda. Itulah keunikan yang dimiliki bangsa Indonesia. Berbeda-beda dalam berbagai jenis makanan khas Indonesia, tetapi tetap bersatu. Orang Papua dalam tradisinya selalu melaksanakan ritual bakar batu ketika melaksanakan sebuah upacara khas
daerah itu.
Lain lagi di Nusa Tanah Terjanji Flores, Nusa Tenggara Timur beraneka makanan khas yang diwariskan leluhurnya. Gencarnya promosi pariwisata di wilayah Pulau Flores memberikan dampak positif bagi masyarakat di kampung-kampung.
Sekarang Nusa Tenggara Timur disebut \'Nusa Tanah Terjanji\'. Pengakuan itu disampaikan oleh wisatawan asing dan domestik yang menikmati keindahan alam Pulau Flores, baik yang dilihat dari udara maupun saat berpetualangan melihat langsung binatang Komodo serta kawah bekas letusan gunung berapi yang setiap tahun berganti warna. Kawah itu disebut Kawah Kelimutu.
!break!
Geliat pariwisata Flores setelah Sail Komodo September 2013 lalu di Manggarai Barat sangat terasa dengan membangkitkan kembali berbagai makanan khas orang Flores yang sudah mereka tinggalkan akibat masuknya pengaruh beras.
Wisatawan yang berkunjung ke pulau Flores bukan hanya menikmati keindahan alamnya, melainkan juga ingin menikmati makanan unik yang dimiliki masyarakat di sembilan Kabupaten yang diapit oleh laut Flores dan Laut Sawu itu.
Salah satu daya tarik wisatawan asing dan Nusantara saat berkunjung ke Pulau Flores adalah menikmati aneka makanan khas orang Flores pada umumnya dan Manggarai Raya pada khususnya.
!break!
Salah satu makanan khas orang Flores ada di Kabupaten Manggarai Timur. Orang Manggarai Timur menyebutnya ‘Tapa Kolo’. Tapa diartikan bakar serta kolo artinya masak sesuatu dengan bambu. Jadi ‘Tapa Kolo’ diterjemahkan memasak nasi dengan bambu dengan cara dibakar.
Tapa Kolo merupakan cara memasak nasi orang Manggarai Timur di kampung-kampung. Diceritakan warga masyarakat Kampung Sambikoe bahwa orang Manggarai Timur di zaman dulu belum mengenal masak umbi-umbian serta nasi dengan menggunakan kompor melainkan memasak umbi-umbian dan nasi dengan cara membakar.
Mengapa demikian? Orang Manggarai Raya pada umumnya memasak sesuatu dengan cara membakar. Bahkan umbi-umbian juga dibakar, seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi, serta Uwi. Ini merupakan kearifan lokal yang diwariskan leluhur orang Manggarai Raya pada umumnya dan juga orang Manggarai Timur pada khususnya.
Pada zaman dulu bahan-bahan untuk memasak sesuatu diambil dari alam. Salah satunya adalah bambu yang tumbuh di hutan-hutan. Jadi orang Flores itu sangat dekat dengan alam dilihat dari kearifan lokalnya. Sebagian kebiasaan yang diwariskan itu sudah punah dengan pengaruh modern dengan memasak menggunakan alat-alat modern.
Alat-alat modern itu seperti periuk, Kuali dan lain-lainnya hasil dari olahan pabrik. Salah satu yang masih dipertahankan hingga di era digital ini adalah cara memasak dengan ‘Tapa Kolo’.
Ritual dan ‘Tapa Kolo’
Cara memasak ini dipertahankan karena apabila ada ritual adat di kampung-kampung di wilayah Manggarai Timur selalu ada ‘Tapa Kolo’. Bahkan sebelum dimasak dilaksanakan ritual adat oleh tetua adat. Biji beras yang akan dimasukkan di dalam bambu terlebih dahulu diritualkan untuk memberikan makanan kepada alam dan leluhur.
KompasTravel pada Senin (14/9/2015) lalu diundang warga masyarakat Kampung Sambikoe, Kelurahan Watu Nggene, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur untuk menyaksikan ritual Sundung Wae sekaligus mengolah masakan dengan menggunakan bambu.
!break!
Rafael menjelaskan, ‘Tapa Kolo’ dilakukan oleh kaum laki-laki karena membakar bambu dengan menggunakan api yang besar serta kerja sangat berat.
Menurut Rafael, biasanya makan ‘Tapa Kolo’ dicampur dengan kuah ayam. Kalau bukan kuah ayam, kuah daging babi yang sudah diolah kaum perempuan. Mengapa dicampur dengan kuah? Karena nasi yang dimasak dengan cara dibakar hasilnya agak keras.
“Yang beda dengan masakan menggunakan periuk adalah rasanya. Rasa saat kita makan nasi ‘Kolo’ lebih enak dibanding dengan nasi yang dimasak menggunakan periuk. Itulah keunikan dan kenikmatannya,” tambah Rafael.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR