Hujan lebat turun saat kami baru sampai dan selesai memarkir kendaraan di Desa Mauya. Secara administratif Desa Mauya masuk dalam wilayah Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. Butuh waktu sekitar tujuh jam perjalanan dari kota Banjarmasin.
Desa Mauya dihuni oleh sub suku Dayak Meratus, yang persebarannya hanya terdapat di Kecamatan Halong. Bentuk desa Mauya mengikuti pola sungai Balangan dan anak sungai kecil yang berhulu di pegunungan Meratus. Rumah-rumah yang saling berhadapan kadang hanya di pisahkan jalan kecil selebar lima meter. Sebagian warga masih ada yang tinggal di punggung bukit. Lebih jauh lagi ke dalam hutan, hanya ada dua sampai lima buah rumah.
Ritual Aruh Baharin kali ini dilaksanakan oleh 20 kepala keluarga, dengan 100 jiwa lebih. Dengan ditemani seorang pemuda setempat, saya berjalan mendekati rumah adat tradisional, atau ‘balai adat’ dalam bahasa setempat. Ratusan laki-laki lengkap dengan mandau di pinggang, gotong royong menyiapkan persiapan upacara adat. Beberapa wanita membuat janur, melengkapi sesaji untuk keperluan ritual.
Tepat di tengah rumah adat, lima orang pria duduk bersila mengelilingi salah satu pusat pemujaan yang bernama Balai Tumarang. Lima orang itu di kenal sebagai Balian, tokoh spritual Dayak yang akan memimpin ritual ataupun pengobatan. Aroma kemenyan memenuhi udara, mereka mulai merapalkan mantra, mengeluarkan Gelang Hiang yang terbuat dari tembaga, kain penutup kepala, kapur, serta kain mirip sarung untuk dijadikan semacam celana. Mereka juga mengeluarkan kain putih seperti selendang yang nantinya akan dikalungkan menjuntai di dada telanjang mereka.!break!
Igam, salah satu pria Balian menjadi ketua upacara kali ini. Mulutnya komat-kamit, merapalkan mantera, menandakan ritual tahunan Aruh Baharin pun dimulai. Secara harfiah, Aruh Baharin merupakan upacara adat tutup musim berladang sesudah panen padi. Ritual tersebut sebagai ungkapan rasa syukur warga kepada Sang Pencipta atas hasil panen. Mereka berharap musim tanam berikutnya kembali diberikan kelimpahan hasil panen serta terhindar dari berbagai bala dan musibah.
Inti dari proses panjang ritual adat Aruh Baharin adalah Batandik, yakni menari sambil merapalkan mantra mengelilingi salah satu pusat pemujaan sambil membunyikan gelang Hiang, dengan diiringi musik. Tarian itu bukan tarian sembarangan, mereka memanggil arwah para leluhur bahkan para raja Dayak untuk hadir ke acara mereka yang merupakan ritual warisan leluhur.
Igam terlihat mengenakan satu persatu pakaian khas Balian, secara runtut dimulai dari kain penutup kepala, dengan terlebih dahulu ia mengusapkan minyak kelapa yang sudah diberkati ke kaki dan seluruh tubuh. Balian yang lain mulai mengikuti gerak Igam.
Menjelang sore, Balian mulai bertambah, mereka berasal dari desa tetangga yang sengaja diundang jauh hari sebelum upacara dilaksanakan. Proses ritual di hari ketiga dan keempat hampir sama dengan sebelumnya. Hanya satu hal yang berbeda, mereka secara bergantian memberkati sesaji dan menyembelih hewan kurban, seperti kerbau, kambing dan ayam. Ritual Aruh Baharin ditutup dengan melarungkan sesaji menggunakan miniatur perahu ke Sungai Balangan.
Hingga kini, ritual Batandik terus dilestarikan oleh warga Dayak Balanghan yang mayoritas beragama Budha ini. Selain Desa Mauya, Desa lain yang dihuni masyarakat Dayak Balanghan, atau Dayak Meratus juga menggelar ritual yang sama.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR