Hutan mangrove pantai Mertasari sedang merana. Hutan di pesisir Sanur Kauh, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, itu sekarat. Impitan dari daratan dan perairan telah mencekik bentangan mangrove yang tersisa di pesisir Pulau Bali itu.
Pohon-pohon yang menjemput ajal nampak kuning pucat, kontras dengan hutan mangrove yang masih hijau teduh. Burung-burung kuntul menyebar di sana-sini.
Sedimentasi yang menimbun berjuta-juta butiran tanah telah membentuk tanah timbul yang menghalangi air laut merendam hutan mangrove. Tumpukan sedimen makin tebal sejak Pulau Serangan direklamasi pada 1990-an. Pulau yang mengapung di sisi selatan Denpasar ini ditimbun tanah hingga luasnya berlipat empat: 111 hektare menjadi 481 hektare. Sementara itu, dari daratan, berbagai macam sampah mengendap di pantai, mengubur akar-akar mangrove.
Pada tanah timbul Mertasari yang dibelah Sungai Loloan itu, para pegiat mangrove, tua-muda, putera-puteri, menyeberangi sungai, dan menanam bibit mangrove. Upaya itu untuk mengembalikan jasa lingkungan mangrove dalam membentengi pesisir Mertasari dari empasan ombak dan penumpukan sedimen.
"Mangrove punya peran spesifik lokal yang tidak bisa digantikan oleh hutan lain," tutur Cecep Kusmana, pakar silvikultur Institut Pertanian Bogor dalam forum \'Mangrove for Nation: Mangrove untuk Pembangunan Berkelanjutan\'. Dia menuturkan mangrove hanya bisa tumbuh di daerah pasang surut. "Di luar itu tidak bisa tumbuh," imbuhnya.
"Menurut hasil penelitian, hutan mangrove selebar 200 meter, dengan kerapatan pohon 3.000 per hektare, dengan diameter rata-rata 15 cm bisa meredam tinggi gelombang hingga 50-60 persen, dan kecepatan ombak berkurang 40-60 persen," ungkap Kusmana.
Selain berperan secara ekologis, mangrove bermanfaat dalam pembangunan sebagai sumber pangan, papan, obat-obatan dan energi. Fungsi jasa lingkungan mangrove mencapai 95 persen.
Namun, tanpa ada nilai 5 persen yang berupa kayu atau pohon, jasa lingkungan 95 persen itu tidak akan pernah ada. Artinya, untuk memulihkan jasa mangrove, tak ada jalan lain selain menanam vegetasi mangrove di wilayah pasang surut.
!break!Mangrove berperan sebagai penyangga kehidupan untuk air, tanah dan udara. Di samping itu juga berfungsi sebagai penyerap karbon, tempat hidup ikan dan burung. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menginisiasi peta Mangrove Nasional. Dimulai dari Pulau Jawa dan Sumatra. Pada 2012-2013, kementerian telah memulihkan 31 ribu hektare hutan mangrove di 423 kabupaten/kota.
Namun tantangan memang kerap menghadang upaya pelestarian mangrove. Pegiat mangrove dari Lubuk Kertang, Langkat, Sumatra Utara, Azhar Kasim, menuturkan rintangan yang dia hadapi dalam mempertahankan mangrove. Bersama kelompok tani Keluarga Bahari, lelaki berkulit legam ini menghadapi para preman perkebunan sawit. "Aparat seharusnya menangkap para preman. Kami yang malah dikriminalisasikan saat mengembalikan kebun sawit menjadi hutan mangrove."
Tetapi, Azhar mengatakan, semangat masyarakat mampu memulihkan sedikitnya 275 hektare dari 1.200 hektare hutan lindung mangrove. Hilangnya hutan mangrove amat merugikan masyarakat setempat. "Saat surut, nelayan kami membuat perangkap ikan dan udang. Sebelum jadi kebun sawit, penghasilan mencapai Rp2 - Rp3 juta per bulan. Setelah mangrove tidak ada, turun menjadi Rp200 ribu – Rp 300 ribu," ungkap Azhar.
Forum Mangrove for Nation yang digelar KOMPAS dan PT Pertamina (persero) ini untuk mempertemukan para pihak dalam melestarikan mangrove. "Intinya, bumi itu hijau. Faktanya, ada masalah abrasi dan sebagainya, sehingga daratan menjadi berkurang. Maka, gerakan intensifnya adalah rehabilitasi mangrove. Di samping menghijaukan bumi, juga menahan adanya abrasi," papar Direktur Utama PT Pertamina (persero) Dwi Soetjipto.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR