Jembatan dan terowongan gelap sepanjang hampir 100 meter yang membelah benteng kota mengawali langkah kami memasuki gerbang kota Rothenburg, Bavaria, Jerman. Waktu seakan berhenti berdetak di kota mungil pada lereng perbukitan, berjarak sekitar 185 kilometer selatan kota Frankfurt.
Lorong itu seakan menuntun kami menuju ”negeri dongeng”. Perpaduan bangunan-bangunan abad pertengahan bergaya arsitektur Gotik (1250-1400) dan Renaisans (1572-1578) dalam balutan warna-warna cerah meruak hingga ke sudut-sudut kota. Benteng peninggalan abad ke-13 beserta menara-menara pengawas kukuh menyelimuti kota yang dijuluki ”Rothenburg ob der Tauber” (Benteng ”Merah” di atas Sungai Tauber).
Udara sejuk di awal musim gugur bulan September 2015 terasa pas untuk berjalan menyusuri Rothenburg. Kota seluas 41,45 kilometer persegi itu ramah bagi pejalan kaki karena penggunaan dan parkir kendaraan dibatasi hanya di area tertentu guna pelestarian lingkungan.
Kota yang pernah mengalami pasang surut sebagai kota kekaisaran bebas (free imperial city) pada era Kekaisaran Romawi, perang agama, hingga nyaris luluh lantak akibat Perang Dunia II hingga kini teguh mempertahankan keelokan kota tua.
Tempat penyimpanan ikan hidup berupa kolam beton panjang bertudung kayu buatan tahun 1856 menandai sistem ketahanan pangan penduduk Rothenburg pada abad silam. Kolam berisi air mengalir adalah cara tradisional untuk menyimpan ikan hidup. Komoditas ikan merupakan andalan pangan pada saat penduduk kesulitan memperoleh daging sapi akibat musim dingin.
Langkah pun terhenti di salah satu bangunan tertua yang dibangun pada tahun 900-an, dan kini dikenal sebagai restoran Zur Höll (Neraka). Bangunan itu menjadi saksi bisu tatkala jalan di kota itu pernah mirip kota mati tanpa penerangan. Pada jendela bagian depan restoran, sebuah patung iblis bertanduk ”menyambut” pengunjung untuk menghabiskan malam dengan mencicipi aneka hidangan dan wine.
Hans Georg Baumgartner, sang penjaga malam dalam tur Wisata Malam Rothenburg, menuturkan, pada abad pertengahan hingga tahun 1920-an, penjaga malam memiliki tugas sangat berat.
Kala penduduk kota terlelap, penjaga malam berkeliling kota guna menyalakan penerangan, sekaligus mencegah kebakaran yang menjadi ancaman utama kota-kota pada abad pertengahan.
Terkadang, penjaga malam menyanyikan lagu hingga berjam-jam guna mengingatkan warga kota untuk mencegah kebakaran. Namun, untuk tugasnya tersebut, upah penjaga malam kerap sangat rendah.
Masa-masa tersulit mendera Rothenburg saat 40 persen bangunan dan benteng kota hancur akibat Perang Dunia II. Upaya mengembalikan bangunan kota yang hancur antara lain dengan menggalang dana dari para donatur di seluruh dunia dengan imbal balik menyematkan nama-nama donatur-donatur tersebut di dinding bata kota.
Keseriusan menghidupkan Rothenburg sebagai destinasi wisata kota tua digenapi dengan renovasi kota yang tuntas pada tahun 2014. Dana sebanyak 1,5 juta euro digelontorkan untuk membangun ulang, merenovasi, dan mengembalikan ”keaslian” kota Rothenburg.
Di tengah deru modernisasi, Rothenburg bertahan mengemas kota tua sebagai ladang bisnis. Bisnis pariwisata dan perdagangan kini menghidupi kota berpenduduk sekitar 11.000 jiwa. Sebanyak 2.500 warga di antaranya menghuni gedung-gedung cagar budaya.
Sejumlah bangunan restoran, pub, hotel, penginapan, dan bangunan komersial yang menempati bangunan bersejarah tetap mempertahankan keaslian arsitekturnya.
”Tentu kita menginginkan hidup dalam situasi yang aman, nyaman, dan mendapatkan pekerjaan. Rothenburg memberikan itu semua,” kata Daniel Weber, pemandu wisata, kepada rombongan wartawan Asia Pasifik dalam kunjungan bersama maskapai penerbangan Lufthansa Airlines.
Natal empat musim
Romantisisme Rothenburg bukan hanya seputar kemolekan bangunan bernilai sejarah. Kota itu juga menghadirkan nuansa Natal sepanjang tahun.
Desa Natal (Christmas Village) dan Museum Natal Jerman menjadi ikon Natal ”empat musim” Rothenburg. Pasar Natal Rothenburg Reiterlesmarkt, salah satu pasar Natal tertua di Jerman, buka sepanjang tahun.
Käthe Wohlfahrt, salah satu toko tertua di Desa Natal, misalnya, menawarkan aneka dekorasi Natal khas Jerman, seperti piramida, aneka ornamen yang terbuat dari kaca atau kayu, dan kotak musik Natal.
Jejak perkembangan tradisi dan dekorasi Natal Jerman dari masa ke masa dapat ditelusuri di Museum Natal Jerman. Aneka bentuk dekorasi, aksesori, pohon, dan hiasan Natal berubah dan berkembang seiring masa.
”Selalu ada cara untuk merayakan Natal di tengah perubahan zaman,” kata Jörg Christöphler, Direktur Pariwisata Kantor Layanan Pariwisata Rothenburg.
Dari pinggiran benteng kota, petak-petak kebun anggur tumbuh subur. Kebun-kebun itu menjadi salah satu pemasok utama minuman alkohol hasil fermentasi buah anggur (wine) bagi Rothenburg dan sekitarnya.
Dentang lonceng setiap jam dari menara Gedung Dewan Kota (Die Ratstrinkstube)—kini berfungsi sebagai Kantor Layanan Pariwisata—menjadi penanda waktu. Setiap kali lonceng berdentang, dari balik jendela kembar menara itu muncul dua patung pria menenggak sebotol wine. Atraksi The Master Draught merupakan penanda bahwa wine telah menjadi kebanggaan kota Rothenburg.
Produksi anggur sepanjang tahun menghasilkan wine yang berkualitas untuk dikonsumsi warga, sekaligus komoditas utama yang diperdagangkan kota tersebut. Keberadaan wine juga turut mendorong tumbuhnya bisnis kuliner.
Tengoklah Restoran und Weingut Glocke yang dimiliki salah satu juragan ladang anggur terluas di kota Rothenburg. Begitu kami duduk di restoran tersebut, sajian pembuka yang disuguhkan adalah wine produksi khas lokal.
Hawa mulai terasa dingin tatkala lonceng di pusat kota berdentang 10 kali malam itu. Sebagian wisatawan menghabiskan waktu di beberapa kafe yang masih buka hingga larut malam. Beberapa turis lain berjalan-jalan menyusuri dinding kota yang tampak cantik dalam temaram lampu malam.
”Jadi, jika malam ini Anda tidak bisa tidur nyenyak, silakan saja telusuri dinding-dinding kota ini atau pergilah ke ’Neraka’!” tutur Hans Georg Baumgartner, yang malam itu mengenakan jubah prajurit abad pertengahan sambil membawa lentera dan menghunus sebilah tombak panjang.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR