Kelompok yang berkiprah sejak 2003 ini baru menyadari manfaat kuliner mangrove pada 2008. “Setelah kita menanam mangrove, lalu untuk apa. Waktu itu hanya menanam saja, ramai-ramai. Baru pada 2008 kita berpikiran untuk memanfaatkan buah dan daun mangrove. Kita perlu sesuatu yang berbeda, yang tidak hanya menanam,” urai Latif.
Lantaran sering berkumpul, anggota berdiskusi dan menggali kembali sumber pangan dari vegetasi pasang surut ini. “Khusus sumber pangan untuk sayuran, daun api-api, alur dan wrakas, kita bertanya kepada orang-orang tua. Kalau yang lainnya, kita lakukan dengan coba-coba. Bareng-bareng. Keracunan juga bareng-bareng.”
Getah pohon api-api misalnya. Latif menjelaskan, getah api-api bagus untuk peranakan dan meredakan sakit gigi. Untuk merasakan faedahnya, Latif dan sejumlah anggota memberanikan diri sebagai kelinci percobaan.
“Getah itu kadang-kadang keluar sendiri di batang pohon api-api. Pas musim kemarau getah menetes sendiri, dan bisa langsung diminum, seukuran biji randu kapuk,” timpal Kastiri.
Meski telah lama digunakan sebagai obat, untuk mengetahui takarannya yang tepat mesti coba-coba. Kastiri punya pengalaman mengonsumsi getah api-api secara berlebihan. “Napas terasa sesak, perut panas, badan meriang. Getah yang saya minum terlalu besar,” kata Kastiri. Setelah mencoba, dia merasakan manfaat getah api-api. “Baik untuk menjarangkan kehamilan dan mengeringkan peranakan setelah melahirkan.”
Begitu juga buah pidada (Sonneratia sp) yang ternyata bisa dikonsumsi langsung. “Warung-warung zaman susah dulu biasa menjual buah pidada. Kata orang tua, satu butir dijual Rp 5. Baru pada 2008 kita memakai buah pidada sebagai bahan sirup,” kenang Latif.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR