Sejumlah sumber daya alam di Indonesia dikategorikan sebagai minyak dan gas bumi non konvensional. Sumber daya alam ini punya potensi memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Sayangnya, potensinya belum banyak digali karena berbagai faktor.
Selama ini publik lebih banyak mengenal migas konvensional dibanding migas non konvensional. Belum banyak yang tahu betul apa migas non konvensional itu. Bila dibandingkan, keduanya punya sejumlah perbedaan.
Migas non konvensional punya ciri tingkat permeabilitasnya (kemampuan meloloskan partikel dengan menembusnya) rendah. Hal itu menyebabkan kegiatan eksploitasi migas non konvensional dilakukan dengan cara penambangan. Sementara, eksploitasi migas konvensional dilakukan dengan sumuran.
Perbedaan lainnya, migas konvensional lebih mudah terlihat karena letaknya tidak terlalu dalam dari permukaan. Sedangkan migas non konvensional ada di lapisan yang lebih dalam. Cadangan migas non konvensional tersimpan di mana batuan induk berada.
Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 05 Tahun 2012, migas non konvensional adalah minyak dan gas bumi yang diusahakan darireservoir tempat terbentuknya minyak dan gas bumi dengan permeabilitas yang rendah (low permeability), antara lain shale oil, shale gas, tight sand gas, gas metana batubara (coal bed methane), dan methane-hydrate.
!break!Mari kenali mulai dari shale oil dan shale gas. Keduanya merupakan minyak dan gas bumi yang diperoleh dari serpihan batuan induk yang sama dengan migas konvensional. Tingkat permeabilitasnya lebih rendah, sehingga keduanya tidak dapat diproduksi dengan cara yang sama dengan migas konvensional. Shale oil dan shale gasdiangkat dengan metode fracturing, yakni perekahan lapisan batuan menggunakan pompa hidrolik bertekanan tinggi.
Pemerintah Indonesia mulai mengembangkan shale gas. Saat ini pemerintah tengah melakukan studi awal untuk melihat potensi shale gas di Indonesia. Sampai sekarang, potensi shale gas diperkirakan ada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua dengan perkiraan cadangan sebesar 570 triliun kaki kubik.
Selanjutnya, beralih ke gas metana batubara. Ini merupakan gas metana yang terperangkap dan terakumulasi di dalam pori-pori batubara selama masa pembatubaraan. Gas ini umumnya terperangkap di cleats, yaitu pori atau celah batubara. Semakin banyak cleats di dalam batubara, semakin baik permeabilitasnya dan semakin besar peluang kandungan gas metana. Pemerintah kini mengupayakan pengembangan gas metana batubara di 54 wilayah kerja.
Sumber lainnya ialah methane-hydrate atau natural gas hydrate. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh bila material berbentuk kristal es ini bisa dikembangkan. Jumlah cadangan methane-hydrate lebih banyak dibanding energi fosil lainnya, yakni 3 triliun ton karbon. Angka ini lebih banyak dibanding cadangan gas bumi di dunia, 96 miliar ton karbon.
!break!Selain itu, methane-hydrate juga mampu memenuhi kebutuhan energi bagi manusia selama dua ribu tahun. Temperatur dan tekanan gas ini pun relatif stabil, sehingga memudahkan penyimpanan.
Sayangnya, tidak mudah mengembangkan methane-hydrate. Pengambilan methane-hydrate tidak bisa dilakukan dengan cara ditambang layaknya mengambil batubara, karena sumber ini berada di laut dalam. Methane-hydrate dapat diambil menggunakan sumur, seperti kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas konvensional.
Tiga teknik yang bisa digunakan untuk mengambil methane-hydrate adalahdepressurization, thermal injection, dan inhibitor injection. Sayang ketiganya sulit diterapkan karena membutuhkan dukungan energi yang sangat besar. Dari sisi ekonomi, penerapan teknik ini kurang menguntungkan.
Hingga saat ini, pengembangan migas non konvensional belum semasif migas konvensional. Namun upaya menemukan teknologi yang efektif dan efisien untuk mengembangkan migas non konvensional terus dilakukan. Bila teknologi yang murah sekaligus mampu memberi hasil maksimal dapat ditemukan, migas non konvensional dapat menjadi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR