Nationalgeographic.co.id—"Tugas kita sebenarnya berat," ujar I Made Geria selaku Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dia mengungkapkan kecamuk kekhawatirannya tentang rasa kebangsaan, yang dikatakannya "saat ini berada di lampu kuning".
Hampir semua sekolah tidak memberikan pembelajaran tentang akar-akar peradaban Nusantara, demikian ungkap Geria. Padahal, dia melanjutkan, pemahaman peradaban Nusantara penting kaitannya dengan negara kebangsaan kita. "Itu akarnya kita tetapi tidak ada akar pembelajaran itu di kurikulum sekolah," ujarnya. "Saya harap peneliti kita memahami hal ini; intelektual humanis kita dibangkitkan bahwa kita harus melakukan kerja-kerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih krusial. "
Geria menambahkan bahwa Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan jajarannya di seluruh Nusantara mempunyai kemampuan untuk menyarikan riset arkeologi untuk pengetahuan sehingga "masyarakat betul-betul memahami akar-akar peradaban Nusantara."
Penelitian arkeologi merupakan reka cipta pengetahuan berbasis disiplin ilmu arkeologi melalui kerja ilmiah. Tujuan penelitian ini berupa keluaran akademis dan perluasannya, termasuk inovasi untuk kebutuhan terkini dan kontribusinya dalam penyusunan kebijakan pembangunan nasional.
Sepanjang tahun ini Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menyelenggarakan 102 penelitian. Tim Pengulas telah menetapkan enam di antaranya sebagai penelitian terbaik yang mewakili kegiatan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi di penjuru Tanah Air.
Pemaparan dan ulasan tentang enam penelitian unggulan itu digelar dalam Seminar Nasional Penelitian Arkeologi Tahun Anggaran 2021 pada 7 Desember silam di Jakarta. Temanya, "Riset dan Inovasi Arkeologi untuk Penguatan Kebijakan Nasional Berbasis Sains". Kendati demikian, keenam hasil penelitian ini masih perlu didukung penelitian lanjutan dan multidisiplin untuk mendapatkan gambaran yang mendalam dan menyeluruh tentang aspek-aspek kajiannya.
Profesor Riset Truman Simanjuntak memaparkan hasil penelitian bertajuk Evolusi Peradaban di IKN-Kalimantan dalam Konteks Regional-Kawasan Tahap II. Kawasan calon Ibu Kota Negara (IKN) memiliki 165 situs, 56 tradisi, dan 57 fitur lingkungan.
Penelitian Truman dan timnya berkontribusi dalam rekonstruksi sejarah peradaban di kawasan IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Sejauh ini asal-usul masyarakat Kabupaten Penajam Paser berasal dari perpindahan masyarakat adat pada masa Kesultanan atau masa pengaruh Hindu-Buddha. Namun, penelitian di Gua Panglima telah mengungkap cikal-bakal masyarakat yang jauh sebelumnya, yakni penghuni gua pada masa prasejarah—ribuan tahun silam. Di gua itu Truman menemukan sisa manusia seperti lengan bawah, tulang hasta sebelah kiri, gigi prageraham, fragmen tulang ubun-ubun dan rahang bawah. Selain itu juga temuan artefak dan ekofak. Truman dan timnya juga menyingkap industri logam di Maridan, peleburan logam di hulu Sungai Barito sekitar abad ke-12 dan abad ke-19. Kebinekaan populasi, kearifan, dan kebebasan mengekspresikan agama dan budaya dalam keragaman populasi juga menjadi aspek menarik di kawasan ini. Temuan ini meneguhkan bahwa kawasan IKN bukanlah lahan kosong, melainkan kawasan yang memiliki kekayaan nilai ke-Indonesia-an.
Dr. Retno Handini, M.Hum memaparkan tentang jejak migrasi manusia, khususnya persebaran penutur Austronesia di Sumba Timur. Persebaran itu dimuali dari awal kedatangan sampai masa-masa selanjutnya. Hasil temuan penelitiannya bertajuk Diaspora Penutur Austronesia di Nusantara: Penelusuran di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (Tahap V), yang berlangsung selama 2016-219.
Menurut Retno, situs Lambanapu, Melolo, Kambaniru, dan Mborobakung merupakan situs hunian sekaligus permakaman. Situs-situs itu memiliki dua perkembangan budaya: neolitik yang berkembang ke paleometalik dan megalitik. Sejauh ini pertanggalan situs Melolo mulai dihuni sekitar 2.870 tahun silam, sedangkan situs Lambanapu mulai dihuni sekitar 2.148 tahun silam. Retno mengungkap temuan arkeologi selama penelitian di Sumba Timur, yakni nilai-nilai persaudaraan, gotong royong, toleransi, kecerlangan, dan kebinekaan.
Baca Juga: Jejak Budaya Panji dalam Topeng dan Cerita Lisan Kalimantan Selatan
Penelitian berikutnya bertajuk Okupasi Lembah Timur Cekungan Barito pada Pleistosen Akhir-Awal Holosen, yang dihimpun oleh Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, M.A. dan timnya dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan.
Keresahan Vida bermula karena sampai saat ini belum ditemukan bukti-bukti kebudayaan manusia modern anatomis di kawasan tenggara Kalimantan. Menurutnya, penelitian ini memiliki sifat kebaruan karena berada di kawasan terdepan dari Paparan Sunda, setidaknya sampai akhir zaman es. Keberadaan manusia penghuni Gua Taliut-Sawar dibuktikan oelh temuan gigi dan kranium yang diduga milik manusia. Selain itu timnya menemukan keragaman budaya material yang menunjukkan perkembangan teknologi dari masa pratembikar sampa masa penggunaan tembikar. Vida menduga bahwa manusia modern pernah menghuni ceruk-ceruk kawasan Cekungan Barito, namun dia belum memiliki hasil analisis pertanggalan mutlak yang mendukung penelitiannya. Nilai penting penelitian ini yang menurutnya bisa digunakan sebagai rekomendasi kebijakan adalah aspek sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi kreatif, kemaritiman, dan perubahan iklim.
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Stanov Purnawibowo, M.A. dari Balai Arkeologi Sumatra Utara memaparkan penelitian Tinggalan Arkeologi Bawah Air Jejak Budaya Maritim di Provinsi Kepulauan Riau. Penelitian ini bertempat di perairan Kabupaten Lingga dan Kabupaten Bintan. Stanov dan timnya bertujuan menyingkap bentuk, pola sebaran, periodisasi tinggalan arkeologi bawah air, dan perbandingan temuan perahu dan kapal. Dari situs Pulau Sebangka, Lingga, mereka menemukan perahu jeluh, yakni perahu lesung bercadik berteknologi Nusantara yang telah menggunakan pasak logam.
Teknologi pembuatan perahu lesung tergolong teknologi pembuatan perahu paling awal dalam sejarah pelayaran manusia, ungkap Stanov. Sementara itu situs Senggiling di Bintan mengekalkan perahu berteknologi Eropa abad ke-18 hingga abad ke-19. Perahu ini mengangkut komoditi asal Tiongkok dan Eropa. Mereka juga menemukan kapal berusia lebih muda sekitar abad ke-19 atau awal abad ke-20 di situs Kemuning, Lingga, dan kapal perang dunia kedua di perairan Suak Buaya.
Baca Juga: Kengerian Pelancong Perempuan Pertama di Batak pada Abad ke-19
Churmatin Nasoichah, S.Hum, meneliti tentang Karakteristik Sumber Tertulis Beraksara Batak pada Sub-Etnik Pakpak-Dairi di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Churmatin dan timnya dari Balai Arkeologi Provinsi Sumatra Utara mengungkap aksara Pakpak, dan kaitannya dengan media penulisannya.
Hasil penelusurannya menunjukkan bahwa aksara Pakpak memiliki karakter yang hampir mirip dengan aksara Batak. Biasanya penulisannya pada media batu dan media kulit kayu. Mereka juga menyingkap kepercayaan masyarakat. Pada masa lalu masyarakat Pakpak menyiratkan suatu kehidupan yang sangat akrab dengan alam dan lingkungan budayanya. Mereka juga menyingkap kepercayaan masyarakat Pakpak masa silam yang menganut pemujaan roh leluhur. Masyarakat agraris ini memiliki tradisi pembakaran mayat lalu menempatkan abunya dalam wadah kubur batu. Sistem sosialnya dibentuk oleh keturunan marga tertua dan keturunan marga lebih muda, yang hidup dalam bingkai norma hidup bersama. Churmatin juga menegaskan bahwa perlu secepatnya dilakukan perlindungan karena objek-objek tersebut sangat riskan mengalami kerusakan dan berpindah tempat.
Baca Juga: Intip Kemegahan Rumah Tradisi di Kampung Adat Nan Gagah di Sumba Barat
Nyoman Arisanti, S.E., M.Si. dan timnya dari Balai Arkeologi Provinsi Bali mengungkap aspek pelestarian di Sumba Tengah. Tajuk penelitian mereka adalah Strategi Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Berbasis Komunitas Kampung Adat di Sumba Tengah sebagai Elemen Pendukung Sustainable Development Goals (SDGs).
Kampung adat Wawarongu memiliki tradisi megalitik yang lestari—sampai hari ini. Pada 2018, warga menggelar prosesi tarik kubur batu. Nyoman melihat temuan ini sebagai korelasi antara tinggalan budaya dan kehidupan silam dengan kehidupan masa kininya. Menurutnya, keterlibatan komunitas adat dalam pengelolaan sumber daya arkeologi maupun sumber daya budaya yang ada di kampung adat merupakan hal yang krusial. Dia juga menekankan pentingnya digitalisasi data budaya merupakan salah satu upaya untuk tetap melestarikan budaya sehingga mampu dikenal dan dicintai dari generasi ke generasi.
"Dalam situasi pandemi kita bisa mengerjakan secara tuntas," ujar Geria. "Termasuk saya mengapresiasi Balai Arkeologi seluruh Indonesia yang tugas-tuganya telah diselesaikan dengan baik—riset dan pendayagunaan." Dia menambahkan bahwa arkeologi memiliki peranan penting, selain memajukan pengetahuan, keilmuan ini juga menjadi bagian solusi dalam pendidikan nasional.
Geria berharap, hasil penelitian arkeologi dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan dalam mengatasi berbagai isu dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Dia juga mengutip ucapan jurnalis yang berminat pada sejarah dan budaya dan salah satu pendiri Kompas Gramedia, almarhum Jakob Oetama, bahwa "arkeologi adalah pondasi Indonesia."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR