Kemashyuran Dinasti Han telah terbit sejak dua milenium silam. Pun, sebutan Han telah melekat pada orang-orang Tiongkok. Berabad-abad silam, keturunan mereka di Tiongkok Tenggara telah berhijrah mengarungi samudra.
Orang Han—yang di Indonesia dikenal sebagai orang Cina atau Tionghoa—datang ke Nusantara dalam beberapa gelombang, dan terserak mendiami di penjuru pesisirnya. Mereka menikahi perempuan setempat dan hidup damai dalam naungan percampuran dua budaya.
Sungguh besar peran orang Tionghoa dalam beragam gatra seperti hak asasi manusia, kesehatan, sastra, dan turut membangun jurnalisme di negeri ini. Kendati sejarah hubungan keduanya mengalami pasang surut, kelindan budaya mereka tetap berlanjut mewarnai dan menginspirasi wajah Nusantara.
Gempita kala membuka lembaran tahun baru kalender Imlek bukan hanya perayaan warga Tionghoa, tetapi juga sebuah cermin tentang ikhtiar bangsa Indonesia dalam memahami dan mengakui indahnya keragaman semesta.
Dalam perayaan Tahun Baru Imlek 2567 dan Cap Go Meh, National Geographic Indonesia menggelar pameran foto bertajuk “Tengara Pusaka Orang-Orang Han di Nusantara”.
Sekitar 21 foto tunggal dan 2 foto cerita yang menampilkan geliat kehidupan masyarakat Tionghoa Nusantara akan dipamerkan di Lower Ground Bintaro Jaya Xchange Mall, 15-28 Februari 2016. Rangkaian foto yang dipamerkan berkisah tentang kehidupan warga Cina di Tangerang (Cina Benteng), Cina Timor, Cina Lasem, dan beberapa pecinan lainnya. Karya-karya yang ditampilkan dalam pameran tersebut pernah dimuat di majalah National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler Indonesia.
Setiap edisi Februari, National Geographic Indonesia menampilkan kisah inspiratif seputar orang-orang Tionghoa, pemikiran, dan budaya mereka. Dalam edisi Februari 2016, kedua majalah tersebut menampilkan Pecinan Lasem dalam kisah featurenya. "Corong Candu di Tepian Jawa" terbit di majalah National Geographic Indonesia, dan "Terbit Rindu pada Bekas Kota Candu" terbit di National Geographic Traveler. Keduanya dikisahkan oleh Agni Malagina dan fotografer Feri Latief.
"Pada edisi Februari 2015, keduanya berkolaborasi untuk mengungkap sejarah orang-orang Cina Timor, Titisan Pemburu Wewangian Surgawi," ungkap Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia. "Tahun sebelumnya, Mahandis Y. Thamrin dan fotografer Yunadi membuat kisah tentang Cina Benteng dalam Sang Naga di Barat Jakarta."
Dalam rangkaian acara pameran foto, National Geographic Indonesia juga akan mengadakan Talkshow bertajuk “Pecinan Lasem: Corong Candu di Tepian Jawa”, dengan menghadirkan Agni Malagina (Sinolog) dan Feri Latief (Fotografer) sebagai pembicara. Talkshow yang akan dimoderatori oleh Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Y. Thamrin ini akan diselenggarakan pada tanggal 27 Februari.
Esok harinya, tanggal 28 Februari, para pecinta dan penggiat fotografi dapat mengikuti FOTOKITA Sharing Moment (FRAME). FRAME merupakan diskusi foto yang rutin diselenggarakan Fotokita.net, situs komunitas fotogafi di bawah naungan National Geographic Indonesia. Fotografer Feri Latief akan berbagi kisah dengan para peserta diskusi dengan dimoderatori oleh Firman Firdaus, Editor Fotokita.net.
Didi mengungkapkan bahwa melestarikan pusaka Lasem merupakan tugas kita. Rumah-rumah tua di pecinan itu mengekalkan ragam pusaka keluarga—lukisan, album foto, perabotan, mebel, kusen, daun jendela, hingga lantai rumah itu sendiri. "Pusaka keluarga itu menautkan anak cucu dengan para leluhur," ujarnya. "Sebagai pejalan yang memahami geowisata, kita mendukung Lasem sebagai kota pusaka dengan menghargai tinggalan leluhur mereka dan tidak menginginkannya untuk tujuan koleksi. Semua akan tetap indah dan memesona ketika berada pada tempatnya."
Melalui pameran ini, National Geographic Indonesia ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk menyelami sejarah dan budaya bangsa Tionghoa di Bumi Pertiwi serta untuk merayakan keberagaman budaya Nusantara.
PGN Tanam 5.000 Mangrove di Semarang: Awal Komitmen untuk Dampak Lingkungan dan Ekonomi yang Lebih Besar
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR