Sebuah arak-arakan tumpeng diiringi kothekan(tetabuhan) mewarnai peristiwa gerhana matahari di Dusun Kajangan, Desa Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2016) pagi.
Sejak subuh, warga terutama anak-anak sudah ramai berkumpul di masjid. Mereka membawa serta aneka tetabuhan yang terbuat dari kaleng bekas, bambu, peralatanan dapur, hingga botol minuman bekas yang dihias sedemikian rupa sehingga terlihat menarik dan meriah.
Adapun para orang tua membawa nasi gudangan atau urap yang akan disantap bersama seusai arak-arakan.
"Saya bawa kothekan dari kaleng, yang dibuatkan bapak. Senang bisa ikut arak-arakan yang tidak setiap tahun ada," kata Aura (13).
Saat arak-arakan dimulai, di barisan terdepan ada nasi tumpeng sederhana yang ditandu dua orang dewasa.
Di belakangnya, puluhan bocah memukul-mukul tetabuhan atau biasa disebutkothekan.
Ada pula bunga kembar mayang warna-warni sehingga menambah semarak suasana.
Mereka berkeliling kampung sembari melafalkan takbir dan istighfar yang dipandu oleh seorang ustaz.
"Kami berupaya memadukan antara budaya Jawa dengan syariat Islam. Kalau dulu memang ada keliling sambil kothekan dengan tujuan untuk mengusir bethara kala (raksasa) yang mau memakan matahari," kata H Haryanto, Takmir Masjid Miftahul Huda Dusun Kajangan.
Menurut Haryanto, berdasarkan ajaran Rasulullah Muhammad SAW, pada saat terjadi peristiwa gerhana matahari atau bulan, maka umat Islam diimbau untuk berdoa, bertakbir, shalat dan bersedekah. Maka dalam arak-arakan tumpeng kali ini warga juga mengumandangkan takbir.
"Kami juga melaksanakan shalat gerhana setelah arak-arakan ini. Setelah acara nanti ditutup dengan makan bersama nasi tumpeng dan nasi gudangan sebagai wujud ajaran Nabi, yakni bersedekah," kata Haryanto.
Kegiatan arak-arakan nasi tumpeng dan kothekan tersebut disambut antusias oeh warga. Widiarti (36), misalnya, sengaja mengajak semua anak-anaknya ke masjid untuk mengikuti acara tersebut.
Hal itu berbeda dari peristiwa gerhana matahari yang pernah ia alami waktu kecil pada 1983. Saat itu, terutama anak-anak, diminta untuk bersembungi di kolong tempat tidur. Saat ini peristiwa gerhana matahari disambut dengan kemeriahan.
"Ya, senanglah. Kalau dulu karena mitosya begitu, ya, anak-anak ada takut," kata Widi.
Setelah berkeliling kampung, arak-arakan kembali ke masjid untuk melaksanakan shalat gerhana. Nasi tumpeng yang diarak serta nasi gudangan yang dibawa oleh warga dari rumah kemudian disantap beramai-ramai.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR