Natchimuthuk Gopalswamy, ketua tim peneliti Badap Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) untuk pengamatan gerhana matahari total (GMT) di Maba, sesekali berdiri dari kursinya dan menatap langit. Raut wajahnya tegang, cemas, dengan cuaca yang tak kunjung membaik. Meski bergerak perlahan, awan-awan penggantinya tak kalah tebal.
NASA berada di Maba untuk Ekspedisi Bersama GMT 9 Maret 2016 dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Tim peneliti fisika Matahari NASA yang berbasis di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard, Greenbelt, Maryland, AS itu rela jauh-jauh menuju Maba, kota kecil dengan infrastruktur serba terbatas, untuk mengejar fase totalitas gerhana terlama yang bisa disaksikan dari daratan: 3 menit 20 detik.
(Baca juga: Sejumlah Satwa Tunjukan Perilaku Abnormal Saat Gerhana Matahari Total)
“Ini 3 menit yang sangat penting bagi kami, yang menyiapkan penelitian setahun sebelumnya,” kata Gopalswamy.
Fase total terlama gerhana kali ini 4 menit 9 detik yang terjadi di satu titik di Samudera Pasifik di kawasan Federasi Mikronesia atau 560 kilometer tenggara Guam. Penelitian memang bisa di atas laut menggunakan kapal, tetapi itu tidak memberikan dudukan stabil pada teleskop sehingga sulit memperoleh data yang bermakna secara saintifik.
Selain itu, berdasarkan data meteorologi, potensi tutupan awan di Maba lebih rendah dibandingkan daerah lain yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Namun kenyataannya berbeda. “Kita memang tidak bisa memprediksi keberadaan awan setiap saat,” ujar Gopalswamy.
(Baca juga: Gerhana, Sampai Jumpa Lagi di Tahun 2023)
Misi NASA kali ini mengukur temperature elektron di korona dan kecepatan geraknya menjauhi Matahari yang akan dipimpin ahli fisika Matahari NASA, Nelson L Reginald. Korona adalah bagian Matahari yang masih diselimuti misteri. Meski korona adalah bagian terluar Matahari, suhunya bisa mencapai 1 juta derajat Celsius.
Korona hanya bisa disaksikan saat GMT. Meski kini ada koronagraf yang bisa mengeblok sinar Matahari sehingga bisa membuat semacam “gerhana” tiruan, alat itu punya keterbatasan. Koronagraf tak bisa digunakan mengamati korona bagian dalam yang terletak di dekat permukaan Matahari. Padahal, di sanalah tempat terbentuknya lontaran massa korona (CME). Karena itu penelitian korona saat GMT tetap penting.
Penelitian tim Lapan juga terkait korona. Satu tim dipimpin Emanuel Sungging Mumpuni akan mengamati spektrum korona bagian bawah untuk mengetahui garis-garis emisi korona sehingga bisa memprediksi tingkat aktivitas Matahari pada siklus aktivitasnya saat ini. Satu tim lain yang dipimpin Rhorom Priyatikanto juga ingin mengetahui aktivitas Matahari, tetapi dilakukan mengambil citra korona dan menganalisis model korona yang diperoleh.
(Baca juga: GMT Memang Batal Tampil, tetapi Misi NASA Tetap Membuahkan Hasil)
!break!Harapan
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR