Kemarin, 1 jam sebelum totalitas gerhana, hujan deras mengguyur lokasi penelitian di Pendopo, Alun-alun Maba. Sontak, peneliti NASA dan Lapan melindungi teleskop dan alat-alat. Namun, hujan kurang dari 10 menit itu ternyata mampu mengusir awan-awan yang menutupi Matahari hingga sesudahnya. Matahari pun menampakkan diri walau masih berselimut awan tipis.
Harapan Matahari akan terlihat penuh saat fase totalitas itu kembali muncul. Kondisi itu membuat para peneliti NASA dan Lapan bersemangat lagi. Meski Matahari tidak terus-terusan terlihat, peluang terlihatnya GMT masih tetap ada.
(Baca: GMT, Ajang Pembuktian Teori Relativitas Einstein)
Meski demikian, hingga fase total gerhana berlangsung, langit tidak perna benar-benar bersih. Ketegangan tim kian bertambahkarena saat kegelapan menyelimuti Bumi dan menimbulkan decak kagum masyarakat yang turut menyaksikan gerhana, korona hanya terlihat putih tipis berbalut awan tebal di sekelilingnya. Ketegangan itu berubah kekecewaan saat terang lagi.
Kekecewaan terlihat jelas di wajah Reginald. Meski secara kasat mata korona terlihat, itu tidak cukup digunakan untuk penelitian ilmiah. “Tak ada sama sekali data yang bisa diperoleh. Kami butuh korona yang benar-benar bebas dari awan. Tak mungkin mengambil data korona di belakang awan,” kata Reginald.
(Baca: Film Bekas Rontgen dan Floppy Disk Bekas Tak Aman untuk Saksikan Gerhana Matahari)
Terlebih lagi, itu untuk pertama kalinya tim NASA menggunakan kamera polarisasi yang bisa memisahkan elektron koran dengan partikel lainnya. Namun Gopalswamy senang kamera bisa bekerja dengan baik. Untuk itu, kamera akan diuji lagi pada GMT 21 Agustus 2017 yang akan melintasi seluruh daratan AS.
Demikian pula tim Lapan. Meski data statistic gerhana kali ini tidak banyak didapat, pengolahan data yang akan dilakukan masih bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan. “Lapan pun ingin bisa mengamati GMT di AS tahun depan. Apalagi, kerja sama Lapan dengan NASA sudah terjalin baik,” kata Sungging.
Meski demikian, ada satu hal yang berhasilkan dibuktikan tim Lapan dan NASA dari gerhana kali ini. Korona yang sempat diambil citranya menunjukkan bentuk simetrik. Korona di bagian utara dan selatan matahari memang lebih pendek dibandingkan di bagian timur dan barat.
“Itu menunjukkan aktivitas Matahari sedang menuju penurunan maksimum menuju minimum,” kata Rhorom.
(Baca: Menangkap Gerhana Matahari di Teluk Tomini dan Selat Peling)
GMT 9 Maret 2016 memang sudah berlalu. Namun, pencarian para peneliti dan pemburu gerhana di mana pun tak pernah berujung. Matahari, sang bintang induk Tata Surya, masih menyimpan banyak misteri. Kegagalan satu kali gerhana bukan penghalang. Banyak gerhana lain yang bisa diterliti dan didatangi demi ilmu pengetahuan meski harus berjuang ekstra keras.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR