Saya menerima undangan untuk meliput gerhana matahari total pada Minggu (6/3) dari Angkasa Pura I (AP I), untuk berangkat pada Selasa (8/3). Lokasinya, Balikpapan. Untuk sebuah liputan yang membutuhkan persiapan khusus, tentu saja itu waktu yang agak mepet. Apalagi, pihak AP I tidak langsung menyampaikan rincian kegiatan di lapangan (itinerary).
Tetapi, mengingat ini momen langka, redaksi National Geographic Indonesia, yang membawahi Fotokita.net tempat saya bernaung, tetap menerima undangan tersebut. Saya pun segera melakukan riset kecil-kecilan seputar lokasi yang akan diliput.
Dari hasil riset, saya mendapatkan dua tempat/spot yang mungkin akan saya kunjungi di Balikpapan, yakni Lapangan Merdeka dan Pantai Manggar. Lapangan Merdeka berjarak lima menit naik motor dari hotel tempat saya menginap, sementara Pantai Manggar sekitar 15-20 menit dengan motor (jika dengan mobil bisa setengah jam).
Sehari sebelum keberangkatan, pihak pengundang barulah mengirimkan itinerary; di situ tertulis bahwa liputan gerhana dilakukan pada pukul 7.00-9.00 di sekitar kawasan bandara (yang hanya bisa dimasuki oleh internal AP I), tetapi pukul 9.30 harus segera kembali ke bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman (SAMS), Sepinggan, untuk terbang ke Berau.
Lokasi ini tidak sesuai rencana saya, karena saya ingin menangkap suasana dan ekspresi masyarakat umum saat menyambut gerhana. Akhirnya saya meminta izin untuk tetap meliput sesuai rencana yang sudah saya susun, dengan risiko saya harus bisa mengatur waktu sendiri.
Saya pun memutar otak agar proses peliputan sesuai dengan alokasi waktu. Akhirnya, saya putuskan untuk berangkat dari hotel pada Rabu (9/3) pagi ke Lapangan Merdeka saja, dan melupakan target Pantai Manggar karena khawatir tidak terkejar waktunya.
Pukul 5.00 pagi, setelah check-out dari hotel, saya berangkat menumpang ojek ke Lapangan Merdeka. Suasana masih gelap dan melompong, tetapi di kawasan Pantai Kilang Mandiri di seberang Lapangan Merdeka, warga sudah berbondong-bondong mem-booking tempat paling strategis untuk menyaksikan momen yang langka ini.
Saya berpesan pada tukang ojek—yang lupa saya tanyakan namanya—untuk menjemput saya di tempat yang sama pada pukul 8.00, karena setidaknya pukul 9.00 saya sudah harus berada di bandara Sepinggan kembali. Lama perjalanan dari Lapangan Merdeka ke bandara sekitar 15-20 menit; dalam keadaan normal. Hal yang kemudian luput saya antisipasi.
“Saran saya, bapak titip saja tas pakaian sama saya, daripada repot bawa-bawa dua tas kayak gitu,” ujar tukang ojek saya. “Ya, itu kalau bapak percaya sama saya,” tambahnya. Saya pikir, itu ide bagus. Akhirnya saya titipkan tas pakaian saya pada tukang ojek yang baik itu.
Tidak sampai hitungan jam, kawasan Pantai Kilang Mandiri di Lapangan Merdeka sudah dipenuhi warga, hingga menutupi jalan raya. Saya asyik berkeliling, mengobrol sana-sini dengan beberapa pengunjung, memotret tingkah polah yang unik dan menarik. Hingga saya lupa waktu.
Sekitar pukul 8.20 WITA (saat itu totalitas gerhana sudah lewat) saya baru ingat bahwa saya harus segera menuju bandara. Saya telepon tukang ojek, ternyata dia masih terjebak macet entah di mana. Saya menunggu dengan rasa cemas.
Saya keluar kawasan pantai dan menuju ke jalan raya Lapangan Merdeka dan mendapati bahwa para pengunjung secara serentak hendak bubar. Keadaan kacau balau. Jalanan penuh dengan mobil, motor, dan pejalan kaki. Mampet. Saya tidak yakin tukang ojek saya bisa mencapai tempat ini tepat waktu. Saya berpikir, saya pasti ketinggalan pesawat.
Namun, seorang wartawan harus memiliki naluri yang kuat untuk keluar dari persoalan sepelik apa pun. Naluri wartawan saya berkata, saya harus cari orang lain di sini yang bisa mengantar saya ke bandara, jadi saya tidak perlu menunggu tukang ojek yang tidak pasti kapan akan tiba. Artinya, saya harus rela untuk tidak membawa tas pakaian ganti—yang saya titipkan di tukang ojek—dalam perjalanan ke Berau. Toh saya bakal kembali ke Balikpapan tanggal 11 Maret untuk pulang ke Jakarta.
Saya melihat seorang anak muda bermotor yang sepertinya hendak siap-siap keluar dari area parkir. Saya memberanikan diri menghampirinya.
“Dik, bisa antara saya ke bandara? Saya harus mengejar pesawat. Tukang ojek pesanan saya sepertinya terjebak macet entah di mana,” kata saya, dengan tetap berusaha tenang. Saya janjikan sejumlah uang sebagai iming-iming.
Tetapi, sepertinya dia tidak terlalu tertarik dengan uang. Dia bingung. “Macet begini, Bang?” katanya, dengan wajah agak panik. Terus terang, saya merasa bersalah telah melibatkan dia dalam persoalan saya. Tetapi, apa boleh buat?
Saya terus membujuk. “Tidak apa, yang penting kita jalan sekarang. Kalau tidak terkejar, ya nasib. Tetapi setidaknya kita berusaha,” kata saya. Dia menoleh ke kiri, ke kanan, seperti mencari-cari jalan. “Oke kita coba ya!”
Keluar dari area Lapangan Merdeka butuh perjuangan dan kesabaran. Jalanan di mana-mana ditutup. Di salah satu ruas jalan, bahkan berhenti total hampir 10 menit. Padahal, setiap menitnya amat berharga.
“Kita lewat kompleks Pertamina ya Bang, agak jauh, tetapi semoga kosong,” kata pemuda—kali ini saya tidak lupa menanyakan nama—bernama Hayyul itu. Dia orang Bontang, tetapi sedang kuliah jurusan perminyakan di Balikpapan. Saya iyakan saja, lagi pula saya buta daerah sini.
Waktu terus memburu. Hayyul tancap gas. Syukurlah, jalan alternatif yang kami tempuh lancar. Sekitar pukul 9.20 akhirnya kami sampai di bandara SAMS. Saya memberikan uang yang saya janjikan, tetapi Hayyul tegas menolak. Saya memaksa. Akhirnya dia luluh. Tergopoh-gopoh, saya berlari menuju terminal keberangkatan. Rekan-rekan lain sudah menunggu di sana.
Penulis | : | |
Editor | : | Latief |
KOMENTAR