Nationalgeographic.co.id – Jumlah hoaks dengan topik pandemi Covid-19 yang menyebar di ruang dgital terus meningkat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat, pada periode Januari 2020 hingga saat ini telah ditemukan 2.026 hoaks dari total 5.263 unggahan di media sosial mengenai Covid-19.
Platform Facebook menjadi tempat persebaran hoaks terbanyak dengan total 4.562 unggahan. Kemenkominfo telah melakukan pemutusan akses terhadap 5.095 unggahan dan menindaklanjuti 168 unggahan hoaks seputar Covid-19.
Juru bicara Kemenkominfo, Dedy Permadi, dalam siaran pers Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) – KPC PEN, Kamis, mengatakan bahwa masyarakat perlu waspada menyikapi hoaks.
“Sejak Januari 2020 jumlahnya terus meningkat. Langkah penanganan berupa pemutusan akses pun terus digencarkan oleh Kemenkominfo,” ujarnya menurut keterangan pers yang diterima NGI, Jumat (17/12/2021).
Dedy mengatakan, terdapat beberapa topik hoaks yang menyebar, seperti vaksinasi Covid-19, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan Covid-19 secara umum.
Baca Juga: Hoaks Covid-19 Masih Tinggi, Kemenkominfo Imbau Masyarakat Waspada
Secara rinci Dedy memaparkan, isu hoaks Covid-19 pada pekan ini bertambah sejumlah 6 isu dan 35 unggahan hoaks. Sementara, pada pekan sebelumnya, pertambahannya sebanyak 10 isu dan 34 unggahan hoaks.
Pada pekan ini isu mengenai vaksinasi bertambah sejumlah 4 isu dan 8 unggahan. Pada pekan sebelumnya, pertambahan isu vaksinasi adalah sebanyak 7 isu dan 13 unggahan.
Isu hoaks PPKM pada pekan ini tidak mengalami pertambahan. Namun, pada pekan ini terdapat pertambahan sejumlah 27 unggahan hoaks. Sedangkan pada pekan sebelumnya, pertambahan unggahan hoaks mencapai 29 unggahan.
Dedy juga menyebutkan beberapa contoh hoaks dan disinformasi yang perlu menjadi perhatian bersama. Isu hoaks tersebut, di antaranya adalah disinformasi mengenai penolakan vaksin Covid-19 oleh CEO Biontech, hoaks kerja sama Pfizer dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memunculkan varian Omicron sebagai sanksi bagi Afrika Selatan, dan disinformasi varian Omicron adalah propaganda untuk memaksa penduduk Afrika divaksin.
Kemudian, ada pula disinformasi bahwa kata “omi” dalam Omicron merupakan akronim dari jenis penyakit jantung tertentu serta disinformasi pagar pembatas di supermarket Jerman untuk memisahkan pelanggan yang sudah divaksin dan belum.
“Kami berharap masyarakat semakin bijak dalam memilah dan memilih informasi , serta berpartisipasi aktif dalam menghentikan persebaran berita bohong terkait Covid-19. Bersama kita hindari lonjakan persebaran Covid-19 untuk menuju Indonesia pulih dari pandemi,” tutupnya.
Penulis | : | Sheila Respati |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR