Jalan raya pun mulus tak berlubang. Tapi, berjalan kaki dengan jalur pejalan kaki yang nyaman sudah merupakan budaya.
Sepanjang jalan, anak-anak berpipi merah memandang para pendatang dengan tatapan ingin tahu dan orangtuanya menyapa ramah, seakan kami sudah penduduk lama di sana.
Ketenangan sangat terasa di sini, tempat dimana Google jangan harap bisa dibuka semaunya dan mustahil mengakses Facebook apalagi meng-upgrade Twitter.
Paling tidak, pemerintahnya meminimalkan stres rakyat akibat media sosial dan kegilaan mengumbar narsisme wajah hasil photoshop.
Menjauh dari peradaban kota seperti ini, bukan berarti saya mendadak ekstrem terpikir untuk ‘beralih’. Sama sekali tidak. Karena, misi saya memang bukan untuk itu. Melainkan untuk beberapa pembuktian sekaligus pembenaran tentang beberapa hal.
Salah satunya tentang kepercayaan ngemil, makanan antara, snacking. Mempertahankan kadar gula darah normal tidak yoyo tanpa membebani insulin, bukan berarti manusia jadi mesin rakus yang berkutat di sekitar makanan setiap 3 jam sekali.
Semua tergantung apa yang dimakan, bagaimana tubuh meregulasi makanan itu dan perilaku hidup seperti apa yang menentukan makanan apa yang patut masuk tubuh.
Repotnya, masih terlalu banyak orang hidup leyeh-leyeh di depan komputer, tapi merasa berhak makan gaya kuli kapal.
Mengaku olah raga, padahal cuma dua kali tiap minggu, tapi ribut merasa harus konsumsi minuman berenergi atau camilan khusus.
Ketika saya remaja dulu, manusia versi itu dikenal dengan istilah “tengil”. Ujung-ujungnya, menghabiskan dana, tetap berperut buncit, kulit pucat dan berisiko keropos tulang.
Di sini, tak jauh dari saya menulis, terhampar pemandangan keren sekelompok orang-orang yang tekun melatih diri bertahun-tahun, tanpa istilah instan dan praktis.
Menjalani hidup apa adanya tanpa mengharapkan yang muluk-muluk, hanya berpikir agar dirinya bisa menjadi contoh bagi anak cucu di kemudian hari.
Anak menjadi baik bukan karena iming-iming diberi mainan baru atau diajak main ke mal, melainkan karena memang jadi orang itu harus baik.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR