Profesor Truman Simanjuntak bersama timnya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melacak jejak hunian prasejarah di Gua Harimau sejak 2009. Gua di Bukit Karang Sialang, Desa Padang Bindu, Sumatra Selatan itu membekukan sisa kehidupan penghuninya: gambar cadas prasejarah dan kubur kuno terbanyak dalam gua hunian di Indonesia—juga Asia Tenggara.
Lokasi Gua Harimau berada sekitar 35 kilometer di barat Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Setahun setelah penemuan Gua pada 2008, para arkeolog mulai meneliti Gua Harimau dan berlangsung hingga kini. Penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun itu menghasilkan penemuan-penemuan arkeologi yang spektakuler.
Di gua tersebut, arkeolog menemukan sisa hunian, perbengkelan, dan kuburan dari ras Mongoloid, penghuni gua dengan budaya Neolitik sekitar 4.000 tahun lalu yang berlanjut ke budaya Paleometalik sekitar 2.000 tahun lalu. Hingga saat ini telah ditemukan kubur dari 81 individu dengan orientasi, posisi, sistem, dan jenis kubur yang sangat bervariasi. Kepadatan kubur yang tiada duanya di Indonesia ini sangat penting bagi pemahaman tentang kehidupan leluhur bangsa di masa lampau. Khususnya tentang kondisi sosial dan ekonomi, konsepsi kepercayaan, demografi, patologi, nutrisi yang sarat dengan nilai-nilai budaya atau peradaban.
Arkeolog bahkan menemukan sisa hunian Preneolitik yang jauh lebih tua milik ras Australomelanesid di bawah hunian Neolitik.
Tradisi gambar cadas merupakan peradaban manusia prasejarah dalam menyampaikan pesan melalui gambar. Di dunia, sangat jarang peneliti gambar cadas yang mempunyai pengalaman menemukan situs-situs baru. Namun, Indonesia memiliki cerita lain. Sebagian situs-situs gambar cadas justru bermunculan sekitar dua dekade belakangan.
Di langit-langit gua bagian timur dan barat, ditemukan lukisan cadas (rock art). Sejauh ini, lukisan cadas itu merupakan satu-satunya di Sumatera. Penemuan tersebut menambah peran penting Gua Harimau dalam menjelaskan perkembangan seni cadas regional yang mengandung nilai estetika dan simbolisme. Keberadaan lukisan ini sekaligus merefleksikan kemajuan alam pikir komunitas penghuni gua di kala itu.
Temuan gambar cadas prasejarah pertama di Sumatra ini mematahkan asumsi arkeolog yang menyatakan budaya gambar cadas tak menyentuh Sumatra, namun tersebar di Indonesia Timur dan wilayah lainnya.
Arkeolog bahkan menemukan sisa hunian Preneolitik yang jauh lebih tua milik ras Australomelanesid di bawah hunian Neolitik. Penemuan ini memperkaya pengetahuan kita tentang kehidupan awal Holosen dengan pengayaan budaya manusia sebelumnya di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Kehidupan berburu dan meramu telah lebih maju dari kehidupan sebelumnya dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan yang tersedia, seperti hewan jenis rusa, babi, dan kera, selain itu reptil, burung, ikan, dan kerang-kerangan, termasuk umbi-umbian dan biji-bijian.
Sisa hunian yang lebih tua berasal dari 22.000 tahun lalu ditemukan pada kedalaman 2,7 meter. Ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog telah mencapai lapisan hunian sedalam 5 meter diyakini dapat merefleksikan hunian gua yang jauh lebih tua dari sebelumnya, meski belum dilakukan penanggalan. Penemuan ini menjadi sangat penting karena mengisi kekosongan data hunian Sumatera hingga saat ini.
Keseluruhan penemuan tersebut memberikan pandangan baru dan wawasan luas di bidang arkeologi, khususnya tentang kelampauan Nusantara. Sementara peradaban yang diusung dari masa itu menjadi nilai-nilai yang sangat penting bagi penguatan karakter bangsa dan landasan peradaban masa kini.
Dengan adanya penemuan-penemuan langka tersebut, Gua Harimau menjadi situs yang perlu diteliti secara berkelanjutan untuk memperoleh data baru dan melengkapi data yang ada. Sisa-sisa peninggalan yang masih terdapat pada lapisan yang lebih dalam menjadikan Gua Harimau sebagai situs yang menjanjikan temuan-temuan spektakuler lainnya di masa datang.
Kandungan tinggalannya sangat penting tidak hanya untuk pemahaman sejarah dan budaya di lingkup lokal, tetapi juga mengisi kekosongan data kehidupan Homo sapiens awal di lingkup regional, bahkan memberikan kontribusi tentang persebaran hunian Homo sapiens awal kawasan Asia Tenggara.
Sebagai “Rumah Peradaban” yang sarat dengan kandungan sejarah, budaya, dan nilai-nilai peradaban, keberadaan Gua Harimau menjadi sangat penting untuk sarana pembelajaran dan pencerahan tentang kehidupan masa lampau kepada masyarakat luas.
Salah satu upaya yang dilakukan Pusat Arkeologi Nasional (Pusarkenas) untuk memasyarakatkan situs arkeologi Gua Harimau yaitu dengan menyelenggarakan kegiatan Rumah Peradaban Gua Harimau. Dalam acara yang digelar pada tanggal 16 Mei 2016, Arkenas mengundang peserta yang terdiri dari siswa-siswi SMA/SMK sekabupaten OKU, para guru, staf pemda, wartawan, dan masyarakat sekitar Padang Bindu.
Acara tersebut diisi oleh berbagai kegiatan yang sifatnya edukatif, seperti pemaparan nilai-nilai peradaban, pameran poster, pemutaran film, dan dilanjutkan dengan kunjungan untuk melihat temuan-temuan di Gua Harimau.
Temuan gambar cadas prasejarah pertama di Sumatra ini mematahkan asumsi arkeolog yang menyatakan budaya gambar cadas tak menyentuh Sumatra.
Saat ini pemerintah daerah OKU sedang merencanakan pemanfaatan Gua Harimau dan situs-situs lain di wilayah Padang Bindu sebagai obyek wisata. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, pengelolaan warisan budaya di wilayah OKU diharapkan semakin mengalami kemajuan dan masyarakat umum dapat memahami pengetahuan sejarah serta nilai-nilai peradaban dari situs dan penemuan arkeologi tersebut.
Truman pernah berkata kepada staf editor National Geographic Indonesia bahwa pernah terjadi penjarahan temuan gelang perunggu di gua ini pada 2012. Kejadian perusakan arkeologis bukan hanya terjadi sekali. Beberapa tahun sebelumnya, rangka-rangka manusia prasejarah di Gua Silabe hasil kerja keras timnya juga dijarah. Tampaknya sekelompok orang tak bertanggung jawab itu mengira adanya harta karun.
Satu hal yang perlu diingat, selain penelitian dan pemasyarakatan yang perlu dilakukan secara berkesinambungan, kegiatan pelestarian juga perlu berjalan beriringan untuk menghindari kerusakan situs dan sisa-sisa peninggalan yang terkandung di dalamnya.
National Geographic Indonesia pernah menerbitkan kisah feature "Tapak Jejak Pitarah Sumatra" pada edisi Januari 2013. Simak juga kisah Pindi Setiawan, ahli gambar cadas, ketika mengeksplorasi gua-gua di Kalimantan Timur dalam "Adibudaya Perupa Pertama Nusantara" yang terbit pada edisi Januari 2016.
Sebaran Gambar Cadas Nusantara
Merah: kuasan berwarna; Biru: corengan arang, dan Hijau: torehan atau cukilan.
Sumber sebaran gambar cadas: Karina Arifin dan P. Delange, Rock Art in West Papua, UNESCO; M. Aubert, S. O\'Connor, M. McCulloch, G. Mortimer, A. Watchman, M. Richer-LaFlèche, Uranium-series dating rock art in East Timor; M. Aubert, A. Brumm, M. Ramli, T. Sutikna, E.W. Saptomo, B. Hakim, M.J. Morwood, G.D. van den Bergh, L. Kinsley, A. Dosseto, Pleistocene cave art from Sulawesi; Chriss Ballard, Australian National University Canberra; Jean Chazine dan L.H. Fage, L’art pariétal des grottes de Kalimantan; Engkos A. Kosasih, Lukisan Gua di Sulawesi Bagian Selatan: Refleksi Kehidupan Masyarakat Pendukungnya, FIB-UI; V. Plagnes, C. Causse, M. Fontugne, H. Valladas, J.M. Chazine, L.H. Fage, Cross dating (Th/U-14C) of calcite covering prehistoric paintings in Borneo; Pindi Setiawan, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung; Truman Simajuntak dan Adhi Agus Octaviana, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Ahmad Hasan Sopandi, Lukisan Gua di Malaysia, Balai Seni Lukis Negara, Malaysia
Peta temuan gambar cadas di Misool: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR