“Lihat tuh ada penyu lewat!” seru Syaiful Anwar atau akrab disapa Ipung, salah satu pemandu wisata. Ia menunjuk ke satu titik di sebelah kiri perahu.
Sontak, kami langsung menjulurkan kepalanya ke arah yang ditunjuk Ipung. “Ih iya, itu kepalanya nongol!” seru salah satu peserta.
“Mana? Mana? Kok Gue nggak lihat?” timpal peserta lainnya.
Selama beberapa saat, suasana di haluan perahu menjadi gaduh. Peserta rombongan berusaha melihat penyu tersebut. Sayangnya, laju perahu terlalu cepat, sehingga penyu segera saja berada di luar jangkauan pandangan.
(Baca juga: Jelajah Wisata Bahari Pulau Pahawang)
Saya bersama rombongan trip sedang berada di sebuah perahu kayu bermotor, melintasi perairan Teluk Lampung. Mendung tebal menggelayuti langit pagi itu. Kabut putih menyembunyikan puncak perbukitan di daratan utama Lampung yang tertinggal di belakang kami.
Setelah hampir 30 menit berlayar, kecepatan perahu mulai berkurang. Di depan kami, sebuah pulau kecil menyambut dengan hamparan pasir putihnya. Seiring perahu yang perlahan menepi di bibir pantai, warna air laut berubah dari hijau gelap menjadi biru jernih.
(Baca pula: 5 Hal yang Bisa Anda Lakukan Ketika Berlibur ke Pahawang)
Kelagian Kecil. Ipung memberitahu kami nama pulau tersebut. Di nusa yang tak seberapa luas itu, alam memamerkan kemolekannya. Warna laut yang kebiruan kontras dengan pasir pantai nan putih. Ombak menyapu bibir pantai, menghapus jejak-jejak kaki wisatawan yang berlarian riang di atasnya.
Puas bermain di pantai dan mengambil foto, kami kembali ke perahu dan melanjutkan perjalanan menuju titik snorkeling Cukuh Bedil. Di perairan berkedalaman 2 hingga 4 meter itu, tersaji pemandangan taman bawah laut dengan aneka ragam terumbu karang dan ikan-ikan cantik yang hilir mudik. Uniknya, di Cukuh Bedil, terdapat plang bertuliskan “Taman Laut Pahawang” dan taman transplantasi terumbu karang.
(Baca juga: 5 Spot Snorkeling Keren di Pahawang)
Sehabis snorkeling di Cukuh Bedil, kami bertolak ke Pulau Pahawang Besar. Secara administratif, pulau dengan luas sekitar 1.804 hektar ini terletak di Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Lampung Selatan. Perahu merapat di dermaga dusun Cukuh Nyai. Di dusun inilah kami akan menghabiskan malam akhir pekan.
Penginapan yang kami tempati berupa rumah panggung dari kayu yang menghadap langsung ke pantai. Ada dua rumah lain berjajar di sebelahnya. Ketiga rumah ini memang khusus disewakan untuk wisatawan.
Pengelola penginapan telah menyiapkan makan siang untuk kami di meja prasmanan. Oh, betapa pengertian mereka. Perut Saya yang sudah berkeriuk sedari tadi, langsung meronta-ronta minta diisi. Tanpa mandi dan berganti pakaian, Saya dan teman-teman segera menyerbu makanan itu tanpa ampun. Snorkeling memang bikin lapar!
(Baca juga: Waspadai Hewan-hewan Ini Saat Snorkeling di Laut)
Usai bersantap, kami duduk leha-leha di pinggir pantai, menikmati dengan khidmat air dan daging buah kelapa muda. Deru angin yang ditingkahi debur ombak menciptakan nyanyian alam yang melenakan. Suasana sekitar penginapan kami lumayan sepi karena letaknya agak jauh dari perumahan penduduk. Tak banyak pula wisatawan yang datang dan menginap di sini. Selain itu, sinyal operator ponsel pun nyaris tak ada. Benar-benar tempat sempurna untuk “kabur” dari rutinitas dan keriuhan ibu kota!
Kegiatan berlanjut dengan snorkeling di Gosong Bekri dan Taman Nemo. Di Gosong Bekri, terdapat candi buatan di bawah air yang menjadi spot berfoto favorit pelancong. Di Taman Nemo, kami puas bermain bersama ikan-ikan Nemo yang gesit keluar masuk anemon laut. Lagi-lagi, di sini terdapat taman transplantasi terumbu karang.
Belakangan, Saya ketahui dari pengelola penginapan yang kami tempati, Suhendi bahwa taman transplantasi terumbu karang itu dibuat oleh penduduk setempat untuk menjaga kelestarian terumbu karang di perairan Pulau Pahawang. “Penduduk sini sadar, kalau nanti terumbu karangnya rusak, wisatawan nggak bakal mau datang ke sini lagi,” ujarnya.
(Baca juga: Kala Terumbu Karang Sumatera Barat Memutih...)
Keesokan harinya, sebelum pulang kami meluangkan waktu untuk mengunjungi Pasir Timbul, hamparan pasir putih memanjang yang menghubungkan Pulau Pahawang Besar dan Pahawang Kecil. Kami beruntung dapat menjejakkan kaki di Pasir Timbul. Sebab, Pasir Timbul hanya ada ketika laut surut, dan akan tenggelam ketika laut pasang.
Pulau Pahawang bisa menjadi alternatif bagi warga ibukota untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas menjemukan dan menikmati akhir pekan yang damai. Jaraknya yang tak terlalu jauh dari Jakarta, serta aksesnya yang cukup mudah memberi nilai tambah terhadap destinasi wisata ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR