Menurut Bill Hayton, penulis buku berjudul South China Sea: The struggle for power in Asia, pengajuan kasus di mahkamah arbitrase ini sejatinya mempertanyakan kepada mahkamah arbitrase apa saja unsur daratan di Laut China Selatan.
Imbasnya, negara-negara di kawasan Laut China Selatan dapat mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut.
Sebab, dalam hukum laut internasional, unsur daratan dapat dibagi ke dalam beberapa bagian, yakni pulau, karang, dan terumbu.
Agar bisa disebut pulau, sebuah daratan di tengah laut harus bisa “menunjang habitat manusia atau kehidupan ekonomi secara mandiri”.
Jika sebuah negara memiliki pulau, negara itu berhak atas zona ekonomi eksklusif (ZEE), alias hak memanfaatkan sumber daya alam (termasuk menangkap ikan atau mengeksplorasi gas dan minyak), di sekitar pulau dalam radius 200 mil laut.
Sedangkan karang, unsur daratan, ini didefinisikan sebagai bebatuan di atas permukaan laut ketika air pasang, terlepas berapapun besarnya.
Sebuah negara yang memiliki karang berhak atas wilayah dalam radius 12 mil laut dari karang tersebut.
Unsur daratan terumbu hanya bisa terlihat saat air laut surut. Sebuah negara yang menguasai terumbu tidak memiliki hak atas sumber daya alam atau wilayah perairan apapun di sekitarnya.
Pulau-pulau buatan itu kemudian dilengkapi dengan pelabuhan dan landasan udara.
Masalahnya, dalam hukum laut internasional, pulau buatan tidak diakui sebagai pulau.
Putusan mahkamah arbitrase ini akan menentukan apakah terumbu yang diubah menjadi pulau-pulau buatan oleh China adalah pulau yang sah.
Jika pulau-pulau buatan itu diakui oleh mahkamah arbitrase, China berhak atas ZEE dalam radius 200 mil laut sekaligus mementahkan keberatan Filipina.
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR