UNICEF menyebutkan bahwa pernikahan anak usia dini adalah pelanggaran yang mendasar pada hak asasi manusia, dan Georgia mencapai angka tertingi dalam tingkat pernikahan anak usia dini di Eropa. Inilah tradisi yang telah kembali setelah berabad-abad lamanya dan kejadian ini tidak hanya terbatas pada satu daerah maupun agama. Sementara itu, alasan-alasan berbeda ditemukan dari satu kota ke kota lainnya dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Ada beberapa kesamaan. Hampir semua mempelai pria terlihat lebih tua dari mempelai wanitanya, mereka sudah menyelesaikan pendidikannya, dan usia mereka sudah sah secara hukum. Biasanya, ibu dari mempelai pria yang akan memulai proses perjodohan. Namun, Sulakauri menemui beberapa pasangan bertemu semasa mereka sekolah atau bertemu lewat dunia maya. Meskipun para gadis tidak selalu dipaksa untuk menikah, tekanan budaya yang ada sangatlah kuat.
"Mereka adalah tipe orang yang cenderung mengikuti arus," kata Sulakauri. "Karena leluhurnya melakukan hal yang sama, begitu pula nenek dan ibu mereka menikah di usia yang sangat muda. Jadi, mereka berpikir begitu lah kehidupan, dan seperti itulah sebuah kehidupan yang seharusnya."
Orang-orang yang ada dalam foto-foto Sulakauri adalah keturunan Georgia Azeri. Georgia Azeri adalah salah satu anggota dari sebuah etnis dan agama kaum minoritas. Adalah Layla, salah seorang pengantin anak yang Sulakauri pernah ia temui. Usianya baru 12 tahun ketika ia menikah dan ia tinggal bersama keluarga suaminya. Ketika mereka pertama bercakap-cakap, Sulakauri teringat kisah Layla dalam benaknya. Layla adalah orang yang sangat terbuka. "Dia punya semua mimpi-mimpi tentang masa depan, mimpi tentang apa yang ia inginkan, seperti penata gaya," katanya. "Dia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan dia ingin melakukan semua hal yang ia impikan."
Setahun kemudian, Sulakauri berhubungan lagi dengan Layla dan ketika itu hal-hal menjadi berbeda. "Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga di usia 13," katanya. "Dia dipastikan tidak akan pergi ke sekolah. Semacam, hal itu telah usai dalam hidupnya."
"Tidak hanya putus sekolah yang akan berdampak pada gadis-gadis ini selamanya. Pendidikan seks hampir tidak ada di Georgia. Sulakauri juga mengatakan bahwa beberapa gadis tidak mengerti apa yang diperlukan untuk sebuah pernikahan sampai hari pernikahan mereka berlalu. Sebuah Survei Kesehatan Reproduksi pada tahun 2010 mengungkapkankan bahwa, sekitar 76,6 [persen] wanita menikah pada saat berusia 15 sampai 19 tahun tanpa menggunakan metode kontrasepsi modern." Tidak mengherankan bila setelah itu banyak pengantin muda yang cepat hamil setelah pernikahan mereka. Hal itu dapat menyebabkan berbagai macam masalah kesehatan bagi tubuh mereka yang masih dalam perkembangan.
Ketika Sulakauri bertemu dengan gadis-gadis ini, ia tidak bisa untuk tidak memikirkan masa kecilnya sendiri. "Itu sangat berbeda," katanya. "Saya adalah anak kecil selama saya bisa menjadi anak kecil, kau tahu?" Jika pekerjaannya tidak dapat menganugerahi masa kecil yang sama bagi mempelai wanita tersebut, ia berharap hal ini bisa menjadi masa depan untuk orang lain.
"Saya ingin menunjukkan pada orang-orang di negara saya bahwa hal ini sudah terjadi. Hal ini dapat menyebabkan perubahan. Mungkin mereka akan mulai berbicara tentang hal ini. "Mungkin hal ini tidak boleh terjadi. Mungkin ini masih terlalu dini."
Penulis | : | |
Editor | : | endah trisulistiowaty |
KOMENTAR