Gantikan peran manusia
Perhatian terbesar terhadap kecerdasan buatan berada di lapangan pekerjaan. Otomatisasi industri menggantikan peran manusia dengan robot. Alih-alih menggunakan manusia yang berpotensi kelelahan, robot lebih dapat diandalkan.
Bila pada saat ini robot hanya berfungsi untuk melakukan pekerjaan fisik, tidak menutup kemungkinan bila di masa depan mereka akan mengambil alih pekerjaan kognitif dan kreatif seperti taksi tanpa pengemudi atau bahkan mesin peneliti kecerdasan buatan yang tidak berhenti menciptakan robot yang lebih canggih.
"Ini bukan masalah ilmiah. Ini adalah masalah politik dan sosioekonomi yang harus diselesaikan oleh masyarakat," ujar Hintze.
Dia pun menuturkan, penelitian saya tidak akan bisa mengubah masalah ini, meskipun jiwa politik saya -bersama dengan manusia-manusia lainnya- mungkin dapat menciptakan keadaan di mana kecerdasan buatan menjadi bermanfaat secara luas dan tidak meningkatkan perbedaan (kekayaan) antara satu persen dan sisanya.
Kemudian, yang tak kalah penting, akankan manusia pada akhirnya tak lagi diperlukan? Saat kecerdasan buatan telah melampaui manusia, baik dari segi fisik dan emosi, dimanakah posisi ‘si pencipta’? Bukan tak mungkin bila kecerdasan buatan merasa tak lagi membutuhkan tuannya.
Untungnya, kita belum perlu mencari pembenaran mengenai keberadaan kita. Hintze berkata bahwa kita masih punya waktu sekitar 50 hingga 250 tahun hingga saat itu tiba dan selagi menunggu, mungkin ini saat yang baik untuk mencari jawaban mengapa kecerdasan super tidak boleh menghapus kita.
“Namun, terlepas dari ancaman fisik, kecerdasan super dapat hadir dan menimbulkan bahaya politik dan ekonomi. Jika kita tidak menemukan cara untuk mendistribusikan kekayaan kita dengan lebih baik, kita akan memicu kapitalisme di mana kecerdasan buatan hanya melayani sedikit populasi yang memiliki semua alat produksi,” ucap Heintze.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR