Setelah larangan yang dilancarkannya melalui kampanya anti-ikonoklasme, selama dua generasi berikutnya, Kekristenan Timur dan Barat terlibat dalam perdebatan ikonoklasme dalam ajaran Kristen.
"Paus Gregorius III di Roma, menyatakan ikonoklasme sesat pada tahun 730," imbuhnya. Sampai pada tahun 787, untuk melihat sekali lagi, bahwa ikon-ikon itu sah dan berlaku di Bizantium.
Reformasi Protestan dalam banyak aspek, merupakan pemberontakan fundamentalis, memicu kerusuhan ikonoklastik di seluruh Eropa pada abad ke-16.
"Bagaimanapun juga, adanya pemberontakan yang terjadi adalah bagian dari pernyataan teologis, seperti halnya Kontra-Reformasi, yang memenuhi gereja-gereja dengan drama seni Barok dan Rococo (sebagai sarkasme)," tulis Wills.
Matthew Wills menulis kepada JSTOR Daily, dalam artikelnya yang berjudul A Short Guide to Iconoclasm in Early History yang terbit pada 28 Januari 2015.
Menurut Wills, tentang perdebatan ikonoklasme, sekali lagi dikembalikan pada perspektif dan keyakinan batin masing-masing pemeluknya.
"Siapa yang membuat aturan ini, siapa yang mendefinisikan teologi?," tanya Wills dalam artikelnya. Semua dikembalikan pada keyakinan masing-masing, masalah benar atau salah hanya bentuk retoris, perdebatan tanpa akhir.
"Dalam konteks perjuangan (pemberontakan) ini, kekuatan untuk memerintahkan (menghancurkan ikonoklasme yang menyesatkan), atau bahkan menolak, bentuk-bentuk representasi menjadi sangat penting," tutupnya.
Melalui pemberontakan terhadap ikonoklasme, akan adanya anti-tesis yang mencerahkan, agaknya membantu memberikan pencerahan dalam ajaran yang menentangnya, melihat kemurnian ajaran Kristen.
Baca Juga: Kerangka Prajurit Bizantium dengan Rahang Emas Ditemukan di Yunani
Source | : | JSTOR |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR