Desa itu senyap. Sesekali sepeda motor melintas membawa pakan ternak, melintas di antara rumah kayu bercat pudar.
Tak jauh dari gerbang masuk desa Sambongrejo, kecamatan Sambong, kabupaten Blora, kita akan menemukan rumah joglo yang berbeda dengan yang lain. Ketika ada tamu acara khusus, perempuan berkebaya memukul lesung (alat untuk menumbuk padi). Irama lampau untuk mengajak pengunjung mengingat sosok yang lahir pada 1859, Samin Surosentiko. Bukan pada pengkultusan sosoknya, namun pada ajaran luhur yang disebarkan Samin yang terkenal dengan ajaran sedulur sikep. Ajaran Samin berawal di desa Klopoduwur, 96.8KM dari desa Sabongrejo. Tahun 1903, ajaran ini menyebar hingga 34 desa di Blora bagian selatan hingga Bojonegoro.
Ajaran Samin tertuang dalam Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip. Para pengikut Samin memegang kukuh sikap (sikep) ini. Selain menjadi penuntun sehari-hari, juga merupakan sikap politik terhadap Belanda. Mereka tak mau membayar pajak kepada Belanda, menolak kerja rodi, menolak jaga malam, dan menolak membangun jalan. Cara melawan ditunjukkan dengan sikap yang seolah-olah bodoh.
“Kalau mereka (wong sikep) ditanya dari mana, maka akan dijawab “dari belakang”,” kata Pramugi Prawiro Wijoyo, tetua di Desa Sambongrejo. Jawaban “bodoh” inilah yang sempat memusingkan Belanda. Hingga puncaknya, Samin Surosentiko ditangkap Raden Pranolo, Asisten Wedana Randublatung dan diasingkan ke luar Jawa hingga wafat.
Ajaran luhur tersebut masih dipertahankan pengikut Samin hingga kini. Termasuk ajaran sedulur sikep tentang kearifan terhadap lingkungan. Mereka tidak merusak bumi sebab bumi dianggap sebagai “ibu” dan mengambil secukupnya. Misalnya memanen singkong hanya sejumlah yang dibutuhkan.
Ajaran tersebut adalah laku sehari-hari yang bisa kita kenali ketika kita tinggal bersama pengikut Samin. Hanya bagi pelancong yang ingin mengenal sosok Samin, di pendopo ini kita bisa mendapatkan informasi dari para pemuka desa. Di dinding pendopo terdapat foto-foto lama Samin Surosentiko dan juga tokoh-tokoh lain. Tak hanya itu, masyarakat juga membuat souvenir berupa kaus bergambar Samin dan juga batik colet bercorak khas alam Blora. Batik colet ini dibuat sebagian dengan malam, sebagian lagi dengan memulas warna sebagaimana melukis. Merak, daun jati, dan lukisan bunga yang mengambil inspirasi alam Blora menjadi motif yang dikembangkan.
“Sekarang penganut Samin juga sudah belajar membaca dan menulis. Mereka juga mengikuti perkembangan,” kata Pramugi. Di desa ini, Pramugi ditokohkan oleh warganya. Ia pun bercita-cita untuk bisa membukukan pemikirannya yang terkait dengan ajaran Samin agar bisa dibaca oleh lebih banyak orang. Mendengar kisah Samin yang dituturkan Pramugi sembari mencicipi tape yang dibungkus daun ploso (Butea monosperma) dan ditutup dengan minum langsung dari kendi adalah salah satu cara menikmati desa ini dalam kunjungan dengan SKK Migas, September silam.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR