Berkunjung ke Madura, Anda akan menemukan bangunan rumah yang unik. Ia memiliki pola zig zag yang riang, tekstur cerobong asap palsu, pintu jati bermotif herringbone, dan jendela berwarna merah muda.
Tariq Khalil, fotografer yang berdomisili di Jakarta, menyebutnya ‘rumah Hansel dan Gretel’.
“Ada sedikit sentuhan Eropa dan khas suasana 50-an. Ini adalah bentuk seni ekstrem dari era yang ekstrem,” katanya.
Tariq bersemangat untuk mengetahui cerita di balik rumah ‘unik’ ini. Ia mempelajari bahwa ide arsitektur tersebut berasal dari bangsawan tembakau Haji Samsul yang tergila-gila oleh gaya moderen abad pertengahan yang dilihatnya saat melakukan perjalanan bisnis ke Jawa Tengah.
(Baca juga: Inilah Rumah Masa Depan Tanpa Terhubung Jaringan Listrik. Mau?)
Tidak ada arsitek di Indonesia – terutama Madura – pada masa itu. Sebab, orang-orang Belanda telah diusir dari Jawa. Oleh karena itu, Samsul menggambar sendiri sketsa bangunannya, lalu ia berikan kepada kontraktor lokal. Pada 1967, Samsul berhasil membangun rumah impiannya.
“Meski cukup elit, namun kebiasaan ini menyebar di kota besar Madura, di mana para kontraktor dan pemilik bebas berekspresi dengan elemen art deco dan abad pertengahan,” papar Tariq.
Gaya arsitektur Jengki
Tariq amat terobsesi dengan gaya arsitektur yang unik namun tidak jelas ini. Mereka menyebut gaya arsitektur yang berkembang pada 1950 dan 1960-an ini dengan ‘Jengki’ (diambil dari kata Yankee).
“Saya merasa seperti orang aneh. Saya tertarik pada sesuatu yang menurut orang lain biasa saja. Padahal, itu ada di depan mata kita. Setiap kota di Indonesia pada tahun 50-an memiliki gaya arsitektur ini,” cerita Tariq.
Tariq pertama kali melihat gaya arsitektur Jengki ini di Bandung, satu dekade yang lalu. Bangunan ini mengingatkannya pada kartun The Flintstones.
Jengki merupakan modernisme abad pertengahan Indonesia yang ditandai dengan bentuk tidak biasa – seperti pentagon, atap asimetris, pintu dan jendela yang terbagi dua, dinding miring, ventilasi udara dengan struktur trapesium atau berlian.
Tariq membandingkan arsitektur ini dengan pengalaman memakan durian. Beberapa orang tidak menyukai baunya, namun setelah digigit, rasanya enak. “Ada sesuatu yang salah dengan gaya bangunan itu, namun tetap menyenangkan untuk dilihat,” katanya.
Berkembang di Semarang
Semarang, kota pelabuhan yang penting pada masa kolonial, juga merupakan tempat terbaik untuk menemukan bangunan bergaya Jengki.
Sebuah grup komunitas sketsa, Orart Oret, meneliti pengaruh arsitektur Jengki sebagai bagian dari biografi salah satu perintis gaya tersebut, Oei Tjong An, yang membangun rumahnya di Semarang dengan jendela di bagian bawah.
“Sesama arsitek mempertanyakan mengapa jendela tersebut diletakkan di bawah padahal tidak ada fungsinya. Namun, Tjong An mengatakan, itu karena terlihat indah dan artistik,” kata Adeline Gunawan, kepala divisi penelitian Orart Oret.
Sayangnya, rumah dengan jendela di bawah ini, telah dibongkar dan digantikan dengan sebuah bank.
Adeline khawatir, rumah bergaya Jengki akan benar-benar hilang jika pemilik tidak mampu membayar biaya perawatan dan akhirnya memilih untuk membongkarnya. “Pemerintah mesti terlibat dalam usaha pelestariannya,” ujar Adeline.
“Riset kami berjalan selama dua tahun. Setiap dua minggu, kami berkelana untuk mencari rumah-rumah bergaya Jengki yang masih dalam kondisi bagus dan mencoba melestarikan dengan menggambarnya,” tambahnya.
Ekspresi kebebasan
Gaya arsitektur Jengki dianggap sebagai ungkapan kebebasan politik pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Beberapa bahkan berspekulasi bahwa bentuk pentagon di bangunan-bangunan tersebut, terinspirasi oleh Pancasila yang memiliki lima prinsip.
(Baca juga: Perpustakaan Unik Berdinding Ember Es Krim di Bandung)
Adeline mengatakan, gaya unik ini merupakan bentuk pemberontakan melawan bangunan berstruktur rapi peninggalan pemerintahan Belanda.
“Ingin menjadi nasionalis, beberapa warga Indonesia membangun gedung tanpa mengikuti aturan dengan bentuk asimetris. Beberapa mungkin menganggapnya norak, namun gaya Jengki itu ternyata sangat terkenal,” papar Adeline.
Sayangnya, menurut Tariq, gaya arsitektur Jengki ini mulai menghilang di akhir 1960. Pada masa itu, bangunan Indonesia mulai mengikuti gaya arsitektur yang dibuat oleh Sukarno.
“Para arsitek tersebut berkata bahwa Jengki lebih mementingkan bentuk bangunan dibanding fungsinya – berlebihan dan tidak berguna. Semangatnya sudah hilang. Arsitek fokus kepada misi ‘membangun negara’. Padahal bangunan yang mereka ciptakan jadi membosankan,” kata Tariq.
Periode kreativitas arsitektur yang luar biasa di Indonesia pun telah berakhir.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR