Indonesia dengan wilayahnya yang luas, merupakan surganya beragam satwa liar untuk hidup. Saat ini, terdapat 566 kawasan lindung yang sudah ditetapkan untuk menjaga sejumlah spesies dilindungi. Sayangnya, tak hanya satwa dilindungi yang terus terancam kepunahan karena aktivitas manusia, terutama perburuan dan perdagangan ilegal. Tetapi juga, satwa liar yang tidak dilindungi turut diburu dengan kuantitas berlebihan.
Dwi Adhiasto, peneliti dan ahli biokriminologi program Bangun Indonesia untuk Jaga Alam demi Berkelanjutan (BIJAK) USAID mengatakan, perdagangan ilegal makin marak, terutama dengan majunya teknologi. Modus dan taktik pemburu beserta pedagang ilegal terus berkembang. Di antara mereka, melakukan simbiosis mutualisme, saling mendukung demi ketersediaan pemasokan barang dagangan. Pemetaan rantai kejahatan pemburu hingga pedagang dan penampung besar, kata Dwi, cukup rumit. Untuk kelas penampung besar hingga eksportir, terorganisir rapi.
“Biasanya etnis tertentu, bisnis keluarga dengan tujuan memonopoli,” ujarnya di sela diskusi Perdagangan Ilegal Satwa Dilindungi Ada di Sekitar Kita yang diselenggarakan USAID dan KLHK dalam peringatan Hari Hidupan Liar Sedunia 2018 di Djakarta Theater, Sabtu (03/3/2018).
Artikel terkait: Inikah Masa Terakhir Kita Melihat Burung di Indonesia?
Saat ini, perdagangan satwa tak hanya marak untuk hewan yang dilindungi seperti gajah, harimau, burung rangkong, atau trenggiling. Tetapi juga, hewan yang diperbolehkan seperti ular, kura-kura air tawar, dan koral. “Koral dan phyton juga besar, pemburu dan penampung mengikuti pasar jual apa saja, mereka menyiasati,” ujarnya lagi.
Dwi mengatakan, meski diperbolehkan tetapi para pedagang ini kemaruk, berusaha mendapatkan untung lebih besar dengan mengakali aturan yang diperbolehkan pemerintah. Ia mencontohkan, taktik atau siasat mereka dengan memanipulasi dokumen, misalnya mengelabui jumlah, menambah kapasitas, atau memalsukan.
Menurut Dwi, saat ini banyak satwa yang masuk bursa perdagangan merupakan jenis terancam punah. Ia mencontohkan, untuk burung terdapat 140 jenis, mamalia 63 jenis, reptil 21 jenis. Biasanya, satwa tersebut dikoleksi atau dijadikan bahan obat tradisional, kecantikan, juga keyakinan.
Baca juga: Perdagangan Satwa Liar Semakin Mengkhawatirkan
Untuk satwa yang tinggi diperdagangkan bagian tubuhnya antara lain gajah, harimau, burung enggang gading, dan trenggiling. Biasanya, dijual di pasar domestik dan diselundupkan ke luar negeri seperti Filipina, Thailand, China, Timur Tengah dan Eropa.
“Upaya pemerintah mencegah penyelundupan sudah baik tetapi masih kurang, mengingat kondisi geografis Indonesia, serta modus perdagangan yang licin,” ujarnya.
Menurutnya, polisi, jaksa, hakim harus meningkatkan kapasitas dan memperbanyak referensi lapangan untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada pelaku kejahatan. “Seharusnya, hukuman juga dibedakan antara membunuh harimau dengan nuri atau kakatua,” ujar lulusan John Jay College ini.
Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID berkomitmen menjaga dan melanjutkan kemitraan, melindungi satwa liar. “Perdagangan satwa liar ilegal tidak hanya merugikan keseimbangan ekosistem, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada hutan juga sektor pariwisata dan lainnya,” ujar Mattew Burton, Direktur Lingkungan Hidup USAID.
Burton menyampaikan, perdagangan liar tidak hanya berdampak langsung secara ekonomis tapi juga pada kedaulatan Indonesia. Karena, penjahat lintas negara telah melanggar hukum negara ini.
Indonesia adalah rumah bagi banyak spesies penting seperti harimau sumatera, badak sumatera, burung rangkong, juga orangutan yang menopang kesehatan ekosistem. “Perburuan dan deforestasi menyebabkan penurunan tajam populasi spesies luar biasa yang merupakan ciri khas Indonesia,” terangnya.
Laporkan
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, Wiratno menyatakan perdagangan satwa liar harus menjadi hal penting dan merupakan kejahatan luar biasa. Kolaborasi semua pihak, termasuk swasta, harus berjalan. Wiratno juga meminta pengelola media sosial ikut mencegah. “Pemerintah membuka call center untuk masyarakat yang ingin melaporkan atau melihat perdagangan satwa liar di 0822 9935 1705,” jelasnya.
Even Alex Chandra, Head of Education, Human Resources & Customer Protection Division OLX mengatakan, lembaganya sudah berupaya mengantisipasi dan mencegah iklan penjualan satwa liar dilindungi. “Kami langsung cabut iklannya, termasuk bahan awetan seperti yang dicantumkan undang-undang, diminta atau tidak,” ujarnya.
Pihaknya juga menyediakan form laporan masyarakat jika ada iklan penjualan yang lolos. Hal lain yang masih membingungkan menurut dia adalah wujud dan nama hewan yang dilindungi. Dalam undang-undang disebutkan nama latinnya, sementara pengiklan atau masyarakat memakai nama populer.
“Karena kami juga berbasis keyword, kadang pengiklan menulisnya dengan nama alay atau yang tidak ada di kata kunci. Kami terbuka menerima laporan,” ujarnya.
Advokasi
Banyaknya satwa liar dilindungi yang lolos diperjualbelikan di luar negeri tentunya menimbulkan kerugian besar. Tak hanya kehilangan kuantitas, tapi juga jenis, nilai ekonomis, dan tenaga. Seperti upaya pemulangan orangutan dari Thailand yang sampai saat ini masih alot. Terutama benturan aturan hukum negara bersangkutan. “Masih ada enam individu, satu sudah selesai proses hukumnya, lima masih negosiasi,” ujar Desy Satya, Kepala Seksi Pengawetan in Situ KLHK.
Menurut Desy, ketentuan di Thailand, proses hukum untuk satwa liar yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya harus menunggu lima tahun. Ini pula yang terjadi pada lima individu orangutan kecil yang ditemukan setelah diperdagangkan. “Ini akan menyulitkan untuk pelepasliaran, karena lima tahun lagi mereka sudah besar dan makin sulit diliarkan,” ujarnya. Saat ini Desy dan tim dari KLHK sedang mengupayakan perubahan untuk kebijakan tersebut.
Dia pun menjelaskan, kesulitan yang ditemui untuk pemulangan satwa lain di luar negeri adalah biaya pemulangan yang harus ditanggung negara asal. “Kami baru saja mendapatkan surat dari Hong Kong yang mengabarkan lebih dari 1.900 ekor kura-kura moncong babi yang lolos diperdagangkan akan direpatriasi,” jelasnya.
Acara diskusi ini juga menghadirkan Wulan Pusparini, ahli konservasi WCS dan pegiat Garda Satwa Davina Veronica. Mereka menyerukan perlindungan satwa liar dilindungi. “Harimau sumatera ini, di seluruh dunia hanya dia yang mempunyai keunikan secara morfologi dibanding harimau lain. Hanya tersisa satu jenis ini, dua jenis harimau (jawa dan bali) sudah punah,” ujar Wulan.
Sementara Davina mengatakan, bumi ini merupakan rumah bagi satwa dan tumbuhan. Seyogyanya, manusia berbagi tempat untuk mereka. Alasan ekonomi, pembangunan, pertambangan, perkebunan kelapa sawit, permukiman, serta kurang sadarnya masyarakat merupakan ancaman bagi kehidupan satwa liar yang ada.
Artikel ini sudah pernah tayang di Mongabay.co.id. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR