Akhir pekan ini akan menjadi hari yang sibuk bagi siswa Taman Kanak-Kanak (TK) hingga nenek-nenek mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi perempuan. Semua tampil beda. Berkebaya seharian, menggelar aneka kegiatan, dari lomba Dimas Diajeng, menghias tumpeng, melukis dan mewarnai, sampai aneka diskusi. Kaum pria tak kalah hebohnya. Sebagai tanda emansipasi, para suami ikut lomba memasak nasi goreng atau mengulek sambal.
Semua itu diselenggarakan karena Indonesia memperingati Hari Kartini, setiap tanggal 21 April.
Eni Pamuji Rahayu, Guru SD N Ngablak di Sleman, Yogyakarta juga punya agenda akhir pekan ini. Siswa-siswi sekolah itu berkebaya, lengkap dengan rias wajah seperti orang dewasa. Anak perempuan memakai lipstik, dan kawan laki-laki mereka menggambar kumis. Mereka menggelar festival mewarnai dan lomba bungkus kado.
(Baca juga: Beginikah Nasib Perempuan Dalam Dunia Kerja?)
“Sekadar mengingat anak-anak, bagaimana dulu Kartini berjuang. Memakai kebaya dan untuk belajar saja harus sembunyi-sembunyi. Yang penting mereka paham semangat dan perjuangannya. Dengan situasi yang sulit dulu Kartini tetap penuh semangat, lha anak-anak biar paham sekarang jaman mereka lebih mudah jadi harus jauh lebih semangat,” kata Eni.
Tradisi kebaya di Hari Kartini
Soal tradisi memakai kebaya di Hari Kartini sebenarnya bisa dimaklumi. Namun, menurut Ifa Aryani, Direktur Lembaga Studi Perempuan dan Anak (LSPPA) Yogyakarta, hal itu tidak cukup. Jangan sampai, keriuhan berkebaya seharian itu, menutup esensi perjuangan Kartini, yaitu persamaan hak bagi kaum perempuan.
Ifa mengatakan, tradisi kebaya di Hari Kartini muncul di masa Orde Baru, dimana 21 April dirayakan dengan pesan, bagaimana perempuan harus mencitrakan diri seperti apa yang dipakai Kartini. Tetapi, tambah Ifa, bagi dirinya sebagai aktivis perempuan, yang perlu diresapi sebenarnya adalah semangat perjuangannya. Bagaimana misalnya, Kartini mengekspresikan pikiran melalui tulisan-tulisannya.
“Bahwa perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki, pada waktu itu untuk berpendidikan. Itu hal yang paling penting. Otonomi tubuh perempuan itu diaktualisasikan dengan bagaimana perempuan bisa keluar dari kunkungan, keluar dari tradisi, untuk menciptakan hal yang lebih baik ke depannya. Bukan hanya sekedar emansipasi, tetapi bagaimana perempuan bisa membuat perubahan, baik ditingkat paling kecil, di lingkungannya maupun perubahan sosial yang lebih besar," papar Ifa.
Ifa menambahkan, tidak ada yang salah dengan tradisi berkebaya di Hari Kartini. Dia memaklumi, sejak puluhan tahun lalu, anak-anak mulai dari TK sudah dipahamkan, bahwa setiap Hari Kartini maka mereka harus memakai pakaian adat seperti kebaya. Ini adalah pengenalan citra kartini dari sisi pakaian dan budaya yang melingkupinya.
Tetapi, lanjut Ifa harus ada perubahan sejak sekarang karena jaman yang sudah berbeda. Ifa mengapresiasi sejumlah organisasi perempuan yang memperingati Hari Kartini dengan lebih menonjolkan gerakan perubahan yang dipeloporinya. Bagaimana perempuan harus maju di bidang pendidikan dan lebih mandiri.
“Untuk anak-anak SD, sebenarnya bisa dilakukan kegiatan lain, seperti membaca Surat-Surat Kartini. Ini adalah edukasi tentang bagaimana pemikiran Kartini yang luar biasa pada jamannya. Ini lebih penting daripada sekadar fashion show kebaya,” tambah Ifa.
Memaknai perjuangan Kartini
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR