Nationalgeographic.co.id—Dua buah pedang langka dan unik ditemukan oleh para arkeolog di Turki. Keduanya ditemukan di tempat terpisah di kota yang merupakan bekas Kekaisaran Bizantium. Salah satunya, digali di gereja, diperkirakan digunakan sebagai persembahan.
Kenop bundar seperti cincin menghiasi ujung gagang setiap pedang. Model pedang seperti ini jarang ditemukan di Bizantium. Menurut penelitian, fitur menarik pada kedua pedang ini membedakan pedang kenop bundar lainnya dari peradaban terdekat.
Hingga saat ini, sulit untuk menentukan etnis atau kelompok apa yang menggunakannya sekitar 1000 tahun yang lalu.
Para arkeolog menemukan pedang di Amorium. Ini merupakan sebuah kota Bizantium yang menjadi persimpangan penting antara Konstantinopel dan kota-kota besar lainnya. Amorium juga sempat menjadi lokasi militer dan benteng yang berfungsi sebagai garis pertahanan pertama melawan invasi Arab.
Para peneliti melakukan penggalian sistematis di Amorium sejak tahun 1988. Pedang pertama ditemukan terpisah-pisah dan berkarat di atrium sebuah gereja pada tahun 1993. Yang kedua ditemukan pada tahun 2001 di bagian bawah kota. Keduanya berasal dari abad ke-10 dan ke-11, selama periode Bizantium tengah (843 hingga 1204).
Penemuan pedang di sebuah gereja mungkin "dianggap aneh". Namun menurut Errikos Maniotis, seorang peneliti independent, meletakkan senjata di tempat-tempat suci menjadi kebiasaan pada saat itu.
Ada kemungkinan bahwa pedang tersebut diletakkan di gereja bukan untuk tujuan kekerasan. "Dari sumber bersejarah diketahui bahwa senjata telah disimpan sebagai persembahan nazar di gereja-gereja," tutur Maniotis. Benda khusus sengaja ditinggalkan untuk dewa, pemimpin agama, atau lembaga.
Kaisar Bizantium Konstantinus VII Porphyrogennetos menulis bahwa perisai Santo Theodore Teron digantung di bawah kubah gereja. Ini dilakukan sebagai penghormatan.
Baca Juga: Tradisi Pria Romawi Kuno Potong Ibu Jari, Ternyata Demi Hal Ini
“Senjata yang ditempatkan di gereja biasanya dikaitkan dengan relikui suci yang berhubungan dengan para santo prajurit," tambah Maniotis. Dalam agama, relikui biasanya terdiri atas jasad atau bagian tubuh serta benda-benda pribadi dari seseorang yang dianggap suci atau dihormati. Relikui ini diawetkan atau disimpan untuk tujuan penghormatan.
Pedang kedua, ditemukan di kota yang lebih rendah, memiliki gagang sepanjang 14 sentimeter dan bilah bermata dua. Panjang bilahnya setidaknya 61 sentimeter. Penemuan ini dipaparkan oleh Maniotis dan rekan peneliti studi Zeliha Demirel-Gökalp dalam studi. Demirel-Gökalp adalah direktur penggalian di Amorium dan seorang profesor di Departemen Sejarah Seni.
Dimensi pedang menunjukkan bahwa seorang prajurit Bizantium mungkin telah menggunakannya sebagai pedang opsional sekunder selama pertempuran.
Meskipun jarang terjadi di Kekaisaran Bizantium, pedang berkenop cincin dikenal dari budaya lain. Kenop berbentuk cincin yang paling awal diketahui berasal Dinasti Han Tiongkok (206 SM hingga 220 M). Praktik penggunaannya pun menyebar ke bangsa Skit dan Hun nomaden.
Baca Juga: Melihat Pedang Tentara Salib Berusia 900 Tahun yang Terawetkan Alami
Pada budaya lain, pedang ini ditemukan di Sarmatian, yang tinggal di Asia Tengah, dan Romawi. Bisa jadi tentara Romawi mengadopsi praktik ini dari tentara bayaran Sarmatian.
Tidak seperti pedang lain yang pernah ditemukan, pedang yang ditemukan di gereja memiliki struktur seperti pelindung silang (cross-guards). Ini tampak seperti sepotong logam yang tegak lurus dengan bilah di ujung pegangannya. Fitur ini, serta yang lainnya, belum pernah terlihat pada pedang kenop cincin sebelumnya. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa pedang ini unik dan langka.
Pedang itu sangat tidak biasa, para peneliti mengusulkan untuk memberi nama baru yaitu pedang kenop cincin Bizantium hibrida. Lokasi tempat penemuan kedua pedang berdekatan satu sama lain di Amorium. Sehingga mungkin ada gudang senjata khusus di kota yang memproduksi jenis pedang cincin ini. Atau bisa jadi semua ini hanya kebetulan semata.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR