Nationalgeographic.co.id—Vesuvius adalah salah satu gunung yang mengerikan bagi sejarah Eropa. Para sejarawan dan arkeolog memperkirakan lebih dari tiga juta orang yang pernah tinggal di sekitarnaya selama masa sejarah dan prasejarah. Gunung itu menghasilkan letusan yang begitu menghanncurkan berbagai pemukiman dan kota, bahkan di masa Romawi.
Melihat kehancuran yang dihasilkannya, akankah gunung itu meletus lagi, kapan, dan seberapa kuat? Pertanyaan itu yang mendasari penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti dari Swiss Federal Institute of Technology in Zürich (ETH Zurich), dan para peneliti di Italia.
Demi mencari jawabannya, mereka mengamati dari dekat empat letusan terbesar Vesuvius selama 10.000 tahun terakhir untuk mengetahui seberapa bahayanya gunung itu mengintai di masa mendatang. Mereka mempublikasikan penelitiannya di Science Advances edisi 12 Januari 2021, berjudul Garnet petrochronology reveals the lifetime and dynamics of phonolitic magma chambers at Somma-Vesuvius.
Baca Juga: Perayaan Musim Semi Lupercalia Romawi Kuno, Penuh Kekerasan Seksual!
Mereka menetapkan letusan Avellino yang terjadi 3.950 tahun silam (1995 SM) sebagai bencana paling buruk yang dihasilkan Vesuvius. Letusan ini dimasukkan dalam pengamatan bersama tiga letusan lainnya, termasuk yang terjadi pada 79 Masehi yang mengubur dua kota Romawi, Pompeii dan Herculaneum. Selain letusan-letusan besar itu, para peneliti juga memasukkan beberapa letusan kecil (Plinian) dan terkecil (sub-Plinian).
Penulis utama penelitian ini adalah Jörn-Frederik Wotzlaw dari Institute of Geochemistry and Petrology, Department of Earth Sciences di ETH Zurich. Mereka menentukan usia kristal garnet yang ada di endapan vulkanik Vesuvius untuk menyimpulkan berapa lama magama di dalam berada sebelum gunung berapi memuntahkannya.
Garnet menggabungkan dua unsur radioaktif, uranium dan thorium, dengan jumlah kecil tetapi masih bisa diukur. Lewat mengukur rasio isotop inilah, Wotzlaw dan tim dapat menentukan usia pengkristalan mineral itu.
Baca Juga: Sebelum Kejatuhan Kekaisaran Romawi, Kondisinya Mirip Dengan Saat Ini
Biasanya penelitian menggunakan zirkon, batuan mineral yang banyak ditemukan di batuan beku, tetapi tim memilih garnet untuk menentukan usia semburan vulkanik. Sebab magma di Vesuvius, menurut para peneliti, sifatnya terlalu basa untuk mengkristalkan zirkon dan lebih kaya akan garnet.
Mereka menyimpulkan, magma yang paling eksplosif atau magma fonolotik di Vesuvius tersimpan dalam reservoir kerak atas selama ribuan tahun dan lebih panas. Magma dari kerak bawah inilah yang kerap memicu letusan gunung ini.
Magma fonolitik ini mengendap di dalam ruang bawah selama sekitar 5.000 tahun sebelum dua peristiwa prasejarah pada 3.950 dan 8.890 tahun yang lalu. Sedangkan pada periode ketika manusia mulai mencatat peristiwanya, magmanya tersimpan di reservoir itu hanya selama 1.000 tahun.
"Kami pikir kemungkinan besar magma fonolitik di kerak atas menghalangi naiknya magma yang lebih primitif dan lebih panas dari reservoir yang lebih dalam," kata rekan penulis Olivier Bachmann dari ETH Zurich dalam rilis.
Baca Juga: Kisah Pilu Pria yang Gagal Melarikan Diri dari Letusan Vesuvius
Dia menjelaskan, di bawah Vesuvius terdapat beberapa ruang magma yang terhubung dalam sistem pipa. Ruang atas adalah yang sangat penting untuk letusan dan dalam waktu yang singkat akan terisi dengan magma dari salah satu ruang bawah. "Vesuvius memiliki sistem perpipaan yang cukup rumit," Bachmann berpendapat.
Ruangan atas adalah lingkungan yang lebih dingin dan membuat magma mengkristal karena perubahan kimia dari sisa lelehan.
Selain magma fonolitik terdapat magma mafik yang lebih tua yang mengalir ke ruang atas dari tempat paling dalam. Proses naiknya magma atau pengisian ulang ini menimbulkan kenaikan tekanan di dalam ruangan yang dapat memaksa magma fonolitik ke atas, dan berpotensi naik ke permukaan bersama letusan.
Berdasarkan survei seismik, saat ini memang ada reservoir di kedalaman enam hingga delapan kilometer di bawah Vesuvius. Tetapi, belum jelas apakah magma yang ada di dalam itu fonolitik atau mafik, karena alatnya tak bisa mengetahuinya.
Reservoir magma fonolitik tampaknya, menurut para peneliti, selalu ada di bawah Vesuvius selama 10.000 tahun terakhir. Para peneliti belum tahu letusan yang kelak terjadi akankah seberbahaya yang menghancurkan Pompeii atau seperti yang terjadi 3.950 tahun silam.
Mereka mencatat, magma mafik telah diproduksi sebagian besar oleh Vesuvius sejak 1631. Sementara letusan terakhir terjadi pada 1944 ketika Perang Dunia II sedang seru-serunya. Bisa jadi letusan ini merupakan awal dari periode diam yang panjang bagi gunung di mana magma yang berbeda dapat terakumulasi.
"Namun, letusan berbahaya yang sebanding dengan yang terjadi pada tahun 79 M mungkin memerlukan periode diam untuk bertahan lebih lama," kata Wotzlaw.
Jika magma dominan mafik dikeluarkan dalam beberapa dekade mendatang, dapat diartikan bahwa tubuh magma yang terdeteksi oleh survei seisimik saat ini tidak terdiri dari magma yang terdiferensiasi, dan saat ini tidak ada di bawah Vesuvius.
"Itulah kenapa kami beranggapan lebih mungkin jika letusan besar dan eksplosif Vesuvius akan terjadi hanya setelah periode diam yang berlangsung selama berabad-abad," ujar Bachmann.
Sedangkan Wotzlaw lebih menyarankan, walau letusan besar tidak akan muncul dalam waktu dekat tetapi akan sangat mungkin ada letusan kecil yang masih sangat berbahaya seperti yang terjadi di tahun 1944 atau 1631.
"Prediksi yang akurat tentang ukuran dan gaya letusan gunung berapi sejauh ini tidak mungkin ada," ujarnya. "Namun, kebangkitannya kembalinya reservoir magma di bawah gunung berapi kini dapat dikenali dengan pemantauan."
Baca Juga: Lupanare: Rahasia Prostitusi dan Rumah Bordil di Pompeii Kuno
Source | : | Science Advances |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR