Nationalgeographic.co.id—Sejak keberhasilan Javakoffie milik Pieter Engelhard laris manis di pasaran Eropa, pemerintah Hindia-Belanda semakin serius dalam perkembangan onderneming kopi di tanah Priangan (sekarang Jawa Barat).
Fazar Shiddieq Karimil Fathah, menulis dalam skripsinya untuk Universitas Sebelas Maret Surakarta, berjudul Penanaman Kopi Dalam Sistem Preangerstelsel Tahun 1830-1870. Skripsi ini rampung pada 2014.
Fazar menyebutkan bahwa kopi telah menjadi komoditas yang penting di Hindia-Belanda. "Pada masa pemerintahan Daendels, kopi menjadi komoditas utama yang memberikan keuntungan besar bagi pemerintah kolonial," tulisnya.
Pada tanggal 14 Maret 1808, Daendels mengusulkan untuk menciptakan suatu kebijakan, regulasi yang mengatur produksi dan distribusi kopi di daerah Batavia, Priangan, dan Cirebon. Ia menyebutnya Preangerstelsel.
"Peraturan tersebut berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyederhanaan dan penyeragaman susunan area kopi berdasarkan regensi (kabupaten) dan ketentuan tentang penyerahan kopi dengan harga yang memadai," jelasnya.
Upaya untuk melancarkan usahanya, pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Daendels, menginisiasi suatu kerjasama dengan penguasa di kalangan kaum bumiputera, khususnya di daerah perkebunan kopi.
Kerjasama yang digagas pemerintah kolonial berupa penyerahan kopi sebagai alat pengganti pajak penduduk bumiputera. Dengan begitu, rakyat tidak perlu membayar pajak kepada pemerintah, hanya perlu menyerahkan kopi sebagai gantinya.
"Kopi yang diserahkan kepada pemerintah dibeli dengan harga 4 ringgit perak perpikulnya dengan berat 225 pon atau setara dengan 112,5 kg," ungkap Fazar.
Pemerintah kolonial mendaku akan menanggung biaya senilai 1,01 ringgit perak untuk setiap pikul dengan berat sekitar 64 kg. Nilai itu digunakan untuk menutupi biaya operasional seperti gaji para bupati dan kepala kebun, pegawai Eropa, supervisor, dan biaya transportasi.
Jelas, pemerintah kolonial meraup sejumlah keuntungan dari hasil kerjasama mereka dengan kaum bumiputera. Menurut Fazar, biaya produksi kopi hanya menelan biaya senilai 5 ringgit perak, sementara harga di pasar internasional harga kopi mencapai 15 ringgit perak.
Ide lain yang dikerahkan Daendels adalah dengan mengangkat pejabat khusus yang bertugas untuk mengatur penanaman pada onderneming kopi. Pejabat tersebut juga merupakan ahli dalam metode menanam dan memproduksi kopi.
Daendels mulai mengenalkan tentang Preangerstelsel yang menggawangi kebijakan kopi di kawasan Priangan. Preangerstelsel dibagi ke dalam tiga kawasan penanaman, perkebunan, pagar dan hutan, meskipun pada perjalanannya mengalami pelbagai kendala.
Melalui perkebunan kopi dibawah regulasi Preangerstelsel, Daendels berhasrat untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Ia memberikan mandat kepada Inspektur Jenderal Kopi untuk menanam hingga 300.000 pikul dari jumlah keseluruhan pohon kopi sebanyak 72.699.860.
Baca Juga: Percikan Semangat Revolusi Amerika: dari 'Ngopi' sampai Revolusi!
Baca Juga: Gelaran 'Reconnect': Melacak Jejak Riwayat Kopi Sepanjang Jalur Rempah
Wickelman, Inspektur Jenderal Kopi yang kala itu diberi mandat oleh Daendels, melaporkan produktivitas kopi telah mencapai angka 120.963 pikul dari 300.000 pikul kopi yang ditargetkan pada tahun 1810.
"Tingginya produksi kopi pada tahun 1810 merupakan hasil implementasi kebijakan perluasan tanaman kopi yang dilaksanakan pada masa pemerinatahan Daendels sejak tahun 1808," ungkap Fazar dalam skripsinya.
Keberhasilan itu bukan tanpa sebab, Daendels telah melakukan perubahan-perubahan yang bersifat liberal, termasuk perombakan sistem secara radikal. Ia mengubah tatanan dari birokrasi feodal menuju birokrasi Barat.
Di Priangan, Daendels juga menggiatkan sektor pertanian dan perdagangan. Ia mulai memberantas kecurangan dalam pungutan kontingenten, penyerahan dan kerja paksa. Langkah-langkah ini bertujuan untuk memajukan onderneming kopi di Priangan.
Source | : | Digital Library Universitas Sebelas Maret Surakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR