Nationalgeographic.co.id - Sisifos menipu kematian dua kali. Sebagai hukuman, dia dikutuk untuk menggelindingkan batu besar ke atas bukit di Hades. Pencariannya untuk kehidupan abadi selalu memikat pikiran umat manusia.
Ambisi untuk mencapainya begitu kuat sehingga banyak tradisi, kisah, dan mitologi berpusat di sekitarnya. Bahkan, salah satu komposisi sastra paling awal, Epik Gilgames, juga mengambil bentuk kerinduan dan harapan yang sama. Gilgamesh, seorang pahlawan petualang, memulai perjalanan untuk menemukan kunci kehidupan abadi. Pada akhirnya ia menyadari pencariannya menjadi kekecewaan yang tak terhindarkan.
Dosa dan hukuman Sisifos karena menipu dewa sampai dua kali
Sisifos adalah pendiri dan raja pertama Korintus, yang digambarkan Homer sebagai "manusia paling licik" (Iliad 6.153). Ketika dewa kematian Thanatos datang untuk menjemput Sisifos, Sisifos meminta agar ditunjukkan bagaimana cara kerja borgol yang dibawanya. Selama demonstrasi, Sisifos yang fana mampu merantai Thanatos dan menyelamatkan umat manusia dari kematian.
Ini membuat Zeus murka karena manusia berhenti mati. Ia pun mengirim Ares ke bumi untuk melepaskan Thanatos. Sebagai dewa perang yang brutal, Ares sangat memenuhi syarat untuk tugas itu.
Namun, Sisifos tidak akan putus asa begitu saja. Mengetahui bahwa kematian akan kembali menjeratnya, ia memberi beberapa instruksi pada istrinya, Merope. Ia meminta agar tubuhnya tidak dikubur dan melarangnya melakukan ritual penguburan.
Baca Juga: Inilah Kisah Cinta Hades, Dewa Kematian yang Setia Pada Persephone
Ketika dia meninggal, dia segera pergi ke Hades, dewa dunia bawah, dan mengeluh tidak menerima penguburan yang layak. Hades memberinya hak untuk kembali ke bumi untuk menghukum istrinya dan mengatur pemakaman. Sekembalinya ke Korintus, Sisifos bersatu kembali dengan istrinya, melanggar janjinya kepada Hades. Untuk kedua kalinya Sisifos menipu dewa dan menjalani kehidupan yang penuh sebelum meninggal lagi.
Dalam puisi epik besar Yunani, Odisseus, Homer menulis tentang pahlawan terkenal Odisseus, raja Ithaca. Odisseus melakukan perjalanan ke dunia bawah untuk berkonsultasi dengan penyair buta bernama Tiresias. Sang penyair memiliki kebijaksanaan untuk membimbingnya kembali ke rumahnya.
Saat berada di dunia bawah, Odisseus bertemu dengan Sisifos yang berdosa. Marah dengan penipuannya, Zeus telah menjatuhkan hukuman abadi pada Sisifos. Dia dikutuk untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit di dunia bawah. Begitu batu itu mencapai puncak, batu itu berguling kembali. Sisifos harus memulai tugasnya lagi, mengetahui bahwa dia terikat tanpa batas untuk tugas yang sia-sia ini.
Homer (Odyssey 595-600) menggambarkan penderitaan Sisifos dengan sangat rinci:
“Saya melihat Sisifos dalam siksaan yang kejam, berusaha mengangkat batu yang mengerikan dengan kedua tangannya. Sesungguhnya dia akan menguatkan dirinya dengan tangan dan kaki, dan mendorong batu itu ke puncak bukit. Akan tetapi sesering dia akan mengangkatnya ke atas, beratnya akan membalikkannya kembali, dan kemudian turun lagi ke dataran. Namun dia akan mengejan lagi dan mendorongnya kembali. Keringat mengalir dari anggota tubuhnya dan debu naik dari kepalanya.”
Albert Camus, mitos sisifos dan absurdisme
Gambar Sisifos menggulung bukit dan batu digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang tak henti-hentinya dan kompulsif. Jenis pekerjaan ini juga dikenal sebagai tugas sisyphean.
Salah satu karya filosofis terbaik Camus, The Myth of Sisifos, menunjukkan sikap optimis yang bersemangat terhadap teka-teki ini. “Ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi dunia filsafat,” tutur Zeynep Tareen, dilansir dari laman The Collector.
Salah satu pertanyaan filosofis yang esensial tidak diragukan lagi adalah: apa arti dari keberadaan kita? Pertanyaan ini mengganggu Camus dalam banyak karyanya. Menurutnya, segala upaya untuk menjawabnya sia-sia.
Baca Juga: Neraka Tartarus, Jurang Penyiksaan Bagi Masyarakat Yunani Kuno
Keberadaan manusia dicirikan oleh kemungkinan penderitaan dan kematian tertentu. Namun demikian, orang-orang menolak untuk menerima nasib mereka dan terus mencari makna.
Camus menemukan bahwa ada sesuatu yang sangat tidak masuk akal tentang pencarian ini, yang ia sebut dengan tepat absurdisme. Manusia mencari keteraturan dan kebahagiaan dalam hidup, tetapi alam semesta menolak untuk memberikannya. Ketegangan yang dihasilkan dari ini menghasilkan absurdisme.
Apakah manusia dikutuk seperti Sisifos?
Penderitaan Sisifos di Hades adalah abadi dan tugas yang diberikan kepadanya sia-sia. Namun tekadnya memprovokasinya untuk mendorong batu ke atas bukit tanpa henti. Camus menyadari bahwa yang absurd hanya bisa muncul dari pengakuan ini. Ia mengajukan pertanyaan mendasar: begitu kita menghadapi kenyataan bahwa dunia ini tidak rasional, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita semua dikutuk seperti Sisifos untuk terus bertanya tentang makna hidup. Hanya untuk menemukan bahwa semua kemungkinan jawaban kita jatuh kembali ke bawah?
Baca Juga: Mengenal 12 Titan dalam Mitologi Yunani Sebelum Kejayaan Olympus
Nyatanya, respon Sisifos terhadap absurditas lebih penting bagi Camus daripada hukuman abadinya. Dalam mitos Sisifos, ia mencatat:
“Saya melihat pria itu mundur dengan langkah berat tetapi terukur menuju siksaan yang tidak akan pernah dia ketahui akhirnya. Jam itu seperti ruang bernapas yang kembali sepasti penderitaannya, itulah jam kesadaran. Pada setiap saat ketika dia meninggalkan ketinggian dan perlahan-lahan tenggelam menuju sarang para dewa, dia lebih unggul dari takdirnya. Dia lebih kuat dari batunya.”
Pada akhirnya, Camus sangat optimis untuk menyimpulkan Mitos Sisifos sebagai berikut: “Orang harus membayangkan Sisifos bahagia.”
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR