Nationalgeographic.co.id - Letaknya yang berada di seluruh pesisir barat bagian selatan benua Amerika Selatan, Chili punya banyak catatan peninggalan tsunami di masa lalu. Pemahaman terbaru tentang tsunami di sana bahkan dapat membantu menguak polanya untuk mitigasi dan prediksi bencana serupa terjadi di masa depan.
Sementara, penelitian terbaru mengungkap seorang nelayan tenggelam di perairan dingin Pasifik 5.000 tahun silam. Mayatnya ditemukan di pesisir Gurun Atacama, Cile, yang diduga seorang nelayan yang menghadapi tsunami ribuan tahun yang lalu.
Sekarang para peneliti di Journal of Archaeological Science edisi April 2022, membuka kisahnya lewat teknik forensik tes diatom. Makalah itu berjudul Evidence for a mid-Holocene drowning from the Atacama Desert coast of Chile.
Tes diatom ini digunakan untuk mengidentifikasi korban tenggelam yang bergantung pada apa yang terjadi pada tubuhnya selama peristiwa tersebut. "Kita tahu bahwa banyak orang mati dalam tsunami besar, tetapi di mana mereka semua yang berasal dari zaman prasejarah?" kata James Goff, geolog di University of Southampton, Inggris, yang merupakan rekan penulis makalah.
Goff yang juga pengamat tsunami kuno, menyadari bahwa pesisir Gurun Atacama di bagian utara Cile adalah kandidat yang cocok diteliti. Pengamatan dilakukan pada situs makam berusia 5.500 tahun di Capoca 1.
Baca Juga: Tsunami Cile Abad Ke-18 yang Terlupakan Ubah Hitungan Prediksi
Baca Juga: Fosil 'Naga Terbang' Ditemukan Terawetkan di Dalam Batu di Chili
Antropolog University of Concepción Pedro Andrade, penulis utama makalah, pada 2016 telah mengidentifikasi kerangka manusia di sana. Ia menemukan kerangka yang diduga seorang nelayan yang dapat dibuktikan lewat keausan pada tulangnya konsisten menunjukkan sering mendayung, dan analisis isotop yang mengungkap sosok ini sebagian besar pola makanannya dari laut.
Kerangka ini menjadi sampel mereka untuk eksperimen uji diatom pada peninggalan arkeologi. "Kami tahu orang ini adalah seorang nelayan, karena struktur tulangnya, dan bahwa dia memiliki penguburan yang agak aneh—jadi kami lihat apakah dia benar-benar tenggelam di laut," lanjutnya pada National Geographic.
Kondisi kerangka laki-laki ini hampi utuh dengan tulang leher yang hilang, salah satu tangannya menunjuk arah berlawanan dari wajah, dan salah satu kakinya mencuat. Di kuburan, bagian leher ini tampak digantikan oleh cangkang besar.
Sumsum di dalam tulang besar kerangka itu diamati oleh Goff dan rekan-rekan dalam mikroskop elektron dan diambil gambarnya ribuan kali. Tes diatom forensik semestinya dilakukan dengan menyisihkan sumsum dari tulang dan menambahkan bahan kimia untuk membedakan diatom. Tetapi ada cara yang dimodifikasi oleh mereka, yakni mempertahankan sumsum di tempatnya dan menggunakan lebih sedikit bahan kimia.
Cara ini dapat mempertahankan partikel laut yang dihipotesiskan dalam awal penelitian. Tetapi, para peneliti tidak menemukan fosil diatom dalam kerangka itu dengan jelas. Padahal, jika dapat melihat fosil diatom, para peneliti bisa menggunakan cara ini untuk korban tenggelam di masa prasejarah lainnya. Yang ditemukan adalah ganggang, telur parasit, dan sedimen yang tidak terdeteksi oleh tes diatom standar, terang Goff.
Dengan demikian, para peneliti dapat menetapkan bahwa nelayan itu tewas karena tenggelam. Hanya individu ini yang dapat dinyatakan demikian, sebab dua set kerangka manusia yang berada di dekatnya tidak memiliki tanda serupa. Mereka menyimpulkan, nelayan ini tewas ketika sedang di laut atau kecelakaan memancing, bukan karena tsunami di masa purba.
"Dengan melihat apa yang kami temukan di sumsum tulangnya, kami tahu bahwa dia tenggelam di air asin yang dangkal," Goff menjelaskan di Eurekalert. "Kami dapat melihat bahwa pria malang itu menelan sedimen di saat-saat terakhirnya dan sedimen cenderung tidak mengapung dalam konsentrasi yang cukup di perairan yang lebih dalam."
Baca Juga: Misteri Mumi Alien Berukuran Mini dari Chili Akhirnya Terpecahkan
Baca Juga: Berkolaborasi Mengurangi Dampak Abrasi di Pesisir Semarang
Namun, para ilmuwan lain berkomentar temuan individu yang mati tenggelam dan lainnya di situs tidak, bukan berarti tsunami menyebabkan orang mati tenggelam. Ketika bencana datang, sebagian orang mungkin bisa tewas karena trauma benda tumpul.
Di sisi lain, Goff mengatakan, cara ini dapat membantu pada penyelidikan arkeologis selanjutnya tentang benarkah ada masyarakat prasejarah yang meninggal tenggelam karena tsunami.
"Ada banyak situs pemakaman massal prasejarah yang kami ketahui di pantai, dan jika kami menemukan bahwa semura orang ini tenggelam, maka kami dapat mengatakan bahwa mereka mungkin meningal karena tsunami," ungkapnya. "Kami selanjutnya dapat melihat bukti arkeologis lainnya dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait bagaimana orang-orang prasejarah hidup dan mati di sekitar garis panta dunia."
Source | : | national geographic,eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR