Nationalgeographic.co.id - Panel surya dan bahan bakar nabati atau biofuel memang lebih unggul jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil dalam hal emisi karbon. Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki keterbatasan.
Panel surya mempunyai tantangan dalam penambangan material dan daur ulang, sedangkan biofuel bergantung pada pertanian dan lahan. Keduanya mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Para peneliti dari Universitas Cambridge di Inggris telah membuat 'pencakar langit' untuk bakteri. Hasil mereka telah dipublikasikan di laman jurnal Nature Materials dengan judul "3D-printed hierarchical pillar array electrodes for high performance semi-artificial photosynthesis" pada 7 Maret 2022.
Dilansir dari Scitechdaily, dalam penelitan mereka menggunakan metode pencetakan tiga dimensi atau 3D printing untuk membuat kisi-kisi 'nano-housing'. Tempat itu menjadi rumah bagi bakteri yang menyukai sinar matahari dapat tumbuh dengan cepat. Para peneliti kemudian dapat mengekstrak limbah elektron bakteri yang tersisa dari proses fotosintesis. Elektron itulah yang dapat digunakan untuk menyalakan benda-benda elektronik skala kecil.
Sebelumnya penelitian lain berhasil mengekstrak energi dari bakteri fotosintetik. Hal yang membuat penelitian kali ini berbeda adalah peneliti menyediakan 'rumah' bagi bakteri. Rumah yang tepat dapat meningkatkan jumlah energi yang dapat mereka ekstrak.
Metode ini bersaing dengan metode tradisional untuk menghasilkan bioenergi terbarukan dan telah mencapai efisiensi konversi surya yang dapat mengungguli banyak metode generasi biofuel saat ini.
Temuan ini diharapkan membuka jalan baru dalam pembangkitan bioenergi dan sumber energi surya (biohybrid) dapat menjadi komponen penting dalam campuran energi tanpa emisi karbon.
“Pendekatan kami adalah langkah menuju pembuatan perangkat energi terbarukan yang lebih berkelanjutan untuk masa depan,” kata Dr. Jenny Zhang dari Departemen Kimia Yusuf Hamied yang memimpin penelitian.
Zhang dan rekan-rekannya dari Departemen Biokimia dan Departemen Ilmu Material dan Metalurgi bekerja untuk memikirkan kembali bioenergi menjadi sesuatu yang berkelanjutan dan terukur.
Bakteri fotosintetik atau cyanobacteria adalah bentuk kehidupan paling melimpah di Bumi. Selama beberapa tahun, para peneliti telah mencoba untuk menghubungkan kembali mekanisme fotosintesis cyanobacteria untuk mengekstrak energi dari mereka.
“Ada hambatan dalam hal seberapa banyak energi yang sebenarnya dapat diekstrak dari fotosintesis, tetapi tidak ada yang mengerti di mana hambatan itu. Sebagian besar ilmuwan berasumsi bahwa hambatan ada di sisi biologis pada bakteri, tetapi kami telah menemukan bahwa hambatan substansial sebenarnya ada di sisi material," jelas Zhang.
Cyanobacteria membutuhkan banyak sinar matahari untuk tumbuh, seperti permukaan danau di musim panas. Lalu, untuk mengekstrak energi yang mereka hasilkan melalui fotosintesis, bakteri harus menempel pada elektroda.
Baca Juga: Ilmuwan Berhasil Ciptakan Plastik Bakteri yang Bisa Dikonsumsi
Baca Juga: Geobacter, Bakteri Berdaya Listrik, Kini Sudah Ditemukan Saklarnya
Baca Juga: Peneliti Kembangkan Panel Surya Tanpa Sinar dan Panas dari Matahari
Elektroda 'nano-housing' bagi bakteri dibuat dari partikel nano oksida logam yang disesuaikan dengan cara kerja cyanobacteria saat proses fotosintesis. Elektroda dicetak sebagai struktur pilar yang sangat bercabang dan padat, seperti kota kecil oleh karena itu disebut sebagai pencakar langit.
Tim Zhang mengembangkan teknik pencetakan yang memungkinkan kontrol atas beberapa skala panjang, membuat struktur sangat dapat disesuaikan, yang dapat menguntungkan berbagai bidang.
“Elektroda memiliki sifat penanganan cahaya yang sangat baik, seperti gedung apartemen tinggi dengan banyak jendela,” kata Zhang.
Dia juga menjelaskan cyanobacteria membutuhkan sesuatu yang dapat mereka lekatkan dan membentuk komunitas dengan tetangga mereka. Elektroda yang mereka buat memungkinkan keseimbangan antara banyak area permukaan dan banyak cahaya.
Setelah cyanobacteria yang merakit sendiri berada di rumah baru mereka, para peneliti menemukan bahwa mereka lebih efisien daripada teknologi bioenergi lainnya saat ini, seperti biofuel. Teknik ini meningkatkan jumlah energi yang diekstraksi lebih dari satu urutan besarnya dibandingkan metode lain untuk menghasilkan bioenergi dari fotosintesis.
“Saya terkejut kami dapat mencapai jumlah yang kami lakukan. Jumlah serupa telah diprediksi selama bertahun-tahun, tetapi ini adalah pertama kalinya angka-angka ini ditunjukkan secara eksperimental,” pungkas Zhang.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR