Nationalgeographic.co.id—Nusantara pernah menjadi kepulauan yang dirahasiakan oleh pedagang-pedagang rempah selama ratusan bahkan ribuan tahun. Salah satu rempah yang sohor sampai Tiongkok dan Timur Tengah adalah kamper atau kapur barus. Asalnya, kawasan pantai barat Sumatra.
Perdagangan bahari itu diyakini bergeliat pada abad-abad pertama kalender Masehi, berdasarkan berbagai catatan. Banyak sejarawan yang berpendapat bahwa kota Barus di Sumatra Utara adalah lokasi di mana peradaban luar mendapatkan kamper dan kapur barus.
Di Barus memang terdapat dua situs arkeologi, Bukit Hasang dan Lobu Tua. Namun, belum ada bukti yang mengisyaratkan jejak yang sangat tua. Meski Barus menunjukkan temuan peninggalan masa silam yang merujuk betapa gemerlap dan kosmopolitannya kawasan ini, bukti tertua yang dapat ditemukan sejauh ini baru menunjuk abad kesembilan Masehi.
Sementara, peneliti Kantor Arkeologi Sumatra Utara Ery Soedewo, mengatakan temuan berusia lebih tua berada di Situs Bongal, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Lokasinya berada sekitar 60 kilometer di selatan Barus.
Ery menjelaskan, situs Bongal sangat kaya dengan berbagai temuan mancanegara. Temuan yang berlangsung hingga saat ini menunjukkan pendudukan manusia yang lebih tua dari Barus.
Terdapat pula temuan lainnya, lempengan logam dengan huruf Arab yang diduga bertuliskan "Bandar", beberapa barang kaca dari Timur Tengah, hingga mangkuk keramik dari masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Ery menyimpulkan, kawasan situs Bongal merupakan petunjuk lebih hakiki yang menghubungkan Nusantara dengan peradaban global secara langsung.
"Temuan dari ekskavasi kami, semakin menguatkan bahwa interaksi antara Bongal dengan perniagaan luar telah berlangsung sangat lama," terang Ery saat dihubungi National Geographic Indonesia, Senin 21 Maret. "Ada beberapa sampel artefak yang kami analisis dengan carbon dating—kami kirimkan sampelnya ke Waikato University di Selandia Baru—itu pertanggalan tertua abad keenam hingga abad ke-10."
Ery menjelaskan, pada ekskavasi 2022 terdapat temuan manik-manik bergaya Romawi—biasa disebut Roman beads. Manik-manik ini ditemukan di dalam periuk terakota yang awalnya diperkirakan makam, bersama beberapa barang.
"Yang menarik, salah satu jenis manik-manik kaca yang kami temukan berlapis emas dan berlapis perak. Berdasarkan penelusuran kami dari hasil sejenis di beberapa jurnal, itu adalah manik-manik kaca Romawi," jelasnya.
Jenis manik-manik ini sudah diproduksi di dunia Barat sejak abad ketiga sebelum Masehi di kawasan Mesir. Produksi ini masih berlanjut walau Romawi telah meninggalkan Mesir hingga masa awal perkembangan Islam di Timur Tengah.
Selain temuan benda, ada pula sisa-sisa kejayaan perdagangan rempah berupa biji pinang, biji pala, dan kemiri, yang berasal dari 600 hingga 700 Masehi.
"[Temuan ini] mendahului perdagangan rempah-rempah yang selama ini kita tahu dari buku-buku sejarah: perdagangan rempah-rempah ke mancanegara baru marak setelah kehadiran bangsa-bangsa Eropa di abad ke-16 dan 17 Masehi," Ery berpendapat.
Sebuah perahu kuno ditemukan di kedalaman empat sampai lima meter meter di pesisir Teluk Sibolga, yang tidak jauh dari muara Sungai Lumut. Perahu kayu itu telah terpecah menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan pengamatan timnya, perahu itu terbenam di daratan akibat proses sedimentasi yang berlangsung lama oleh aliran muara sungai, dan pasang-surut air laut.
Berdasarkan penanggalan karbon, perahu ini diperkirakan berasal dari abad ketujuh Masehi, dengan identifikasi yang menunjukkan bergaya kebudayaan Asia Tenggara. Gaya kebudayaan ini dapat dibuktikan dengan adanya tambuku—bagian kapal yang diikat dengan serat ijuk, dan diperkuat dengan pasak.
Tetapi, karena penelitiannya masih berlangsung dengan mengetahui jenis kayunya, masih belum jelas Asia Tenggara bagian mana pastinya kapal ini.
"Kami juga masih menunggu hasil jenis kayunya. Jadi kemarin mengambil beberapa sampel untuk jenis kayunya, dan kalau memang didapati dari kayu sekitar situs Bongal, bisa jadi diproduksi setempat," kata Ery.
Baca Juga: Menelisik Asal Nama 'Sumatra' dalam Catatan Penjelajah Barat dan Islam
Baca Juga: Rempah Terlupakan, Sains Berupaya Memuliakan Kapur Barus Kembali
Baca Juga: Temuan Ahli Antropologi di Balik Mantra Misterius dari Barus
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Jaringan Dagang dan Dakwah Islam di Nusantara
"Tapi kalau jenisnya bukan dari kawasan ini atau Sumatra, tandanya dibawa oleh pelaut dari kawasan lain ke pesisir barat Sumatra, entah dari Nusantara sendiri atau kawasan Asia Tenggara yang lain."
Temuan ini mengindikasikan bahwa situs Bongal merupakan pelabuhan pelayaran mancanegara. Di satu sisi membuktikan aktivitas pada masanya berada di kawasan pasang-surut dengan bukti yang diperkuat adanya sisa-sisa tiang kayu.
Sejak Hindia Belanda, Batavia adalah kawasan kosmopolitan yang disambangi banyak orang dari negeri-negeri jauh untuk aktivitas perdagangan. Keadaan itu membuat percampuran budaya yang melahirkan kebudayaan baru, Betawi.
Kondisi serupa mungkin juga terjadi pada situs Bongal. Ery yakin, kawasan yang tidak terlalu luas ini dahulunya didatangi manusia dari berbagai kelompok bangsa dan berinteraksi langsung dengan penduduk setempat.
Ia membayangkan pada masa kejayaannya, Bongal berhias percampuran suku-suku setempat dan bangsa pendatang. Masyarakat setempat diperkirakan adalah pemasok komoditas alam Sumatra untuk dibawa ke negeri nun jauh.
"Kita lihat sekarang di Tapanuli Tengah bagian barat, kawasan Sibolga dan sekitarnya, ini kan masyarakat yang heterogen juga. Jadi di situ ada campuran antara penduduk atau pendatang dari hulu, orang-orang bermarga dari sekitar Samosir, bertambah-tambah juga dari kawasan dan selatan Sibolga seperti Aceh dan Sumatra Barat," urainya.
"Jadi mixed di sana, sehingga menciptakan yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir dengan representasi budaya yang sangat khas."
"Data interaksi itu tidak hanya ditemukan di Bongal saja. Itu kita sampai temukan di pedalaman Mandailing Natal, bahkan sampai Padang Lawas," lanjutnya.
Ery menulis di jurnal Sangkhakala pada 2019. Ia mengungkapkan bahwa di Mandailing Natal terdapat candi Hindu yang berlanggam arsitektur Jawa dengan rentang waktu pemanfaatan awal sekitar abad kesembilan Masehi.
Menariknya, ujarnya, di sekitar candi Hindu ini ditemukan botol kaca yang mereka temukan sejenis di situs Bongal dan Lobu Tua, Barus, dari abad kesembilan Masehi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, temuan botol kaca adalah barang dagangan yang berasal dari Timur Tengah.
"Artinya, interaksi pendatang dengan orang asli Sumatra sudah terjalin tidak hanya jalur pesisir tapi sampai pedalaman," Ery menyimpulkan.
"Kemudian ada temuan menarik lagi di kawasan percandian Sipamuntung di daerah Padang Lawas. Di sana kami temukan ada koin dari Bukhara, yang berarti interaksi itu melebar sampai pedalaman yang tentunya mereka menjali hubungan dengan kawasan pesisir, dan salah salah satunya—yang saya sinyalir—adalah situs Bongal."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR