Nationalgeographic.co.id—Virus Ebola pertama kali terdeteksi di tahun 1976 setelah para ilmuwan turun tangan untuk mencari tahu penyebab serangkaian kematian di Kongo. Gejala yang ditunjukkan ketika seseorang terinfeksi virus ini adalah demam tinggi, diare, gagal ginjal hingga pendarahan. Organisasi Kesehatan Dunia menjelaskan sesorang yang terinfeksi Ebola mempunyai tingkat mortalitas dari 25 hingga 90 persen.
Dilansir dari SciTechDaily, para peneliti dari La Jolla Institute for Immunology atau LJI di California, Amerika Serikat, sedang merancang terapi yang lebih efektif untuk mengobati virus Ebola dan kerabatnya yang lain. Penelitian mereka telah dipublikasikan pada laman Cell dengan judul Asymmetric and non-stoichiometric glycoprotein recognition by two distinct antibodies results in broad protection against ebolaviruses pada 17 Maret 2022.
Perlu diketahui, virus Ebola ternyata adalah salah satu spesies dalam genus Ebolavirus. Selain virus ini ada spesies kerabat seperti Sudan ebolavirus, Bundibugyo ebolavirus, Reston ebolavirus, Taï Forest ebolavirus dan Bombali ebolavirus.
Semua virus itu terbukti berbahaya, namun sejauh ini ilmuwan hanya mengembangkan terapi untuk melawan virus Ebola saja. Untuk menyelamatkan banyak nyawa, para dokter membutuhkan terapi dengan spektrum yang luas, terapi yang mampu menetralkan sebanyak mungkin spesies virus Ebola.
Presiden dan CEO LJI, Erica Ollmann Saphire, Ph.D dan rekannya Rafi Ahmed, Ph.D dari Universitas Emory bertugas untuk mencari antibodi manusia yang dapat menetralkan seluruh spesies virus itu. Temuan mereka mengungkapkan bahwa dua antibodi cerdas manusia dapat menyasar dua spesies, virus Ebola dan virus Ebola Sudan.
Kedua spesies itu bertanggung jawab atas wabah terbesar dan yang paling mematikan. Temuan para peneliti menunjukkan bahwa mereka dapat menggabungkan dua antibodi cerdas itu untuk membuat terapi antivirus yang kuat. Berkenaan dengan hal itu, diketahui dua antibodi dalam penelitian ini berasal dari seorang penyintas virus Ebola yang mendonasikan sampel.
“Menemukan antibodi (yang dapat menetralkan spesies virus Ebola) ini penting karena kita tidak tahu virus mana dalam genus ebolavirus yang akan menjadi wabah selanjutnya,” kata Ollmann Saphire.
Untuk mempelajari bagaimana antibodi ini menetralisir virus Ebola, Xiaoying Yu, Ph.D dan Jake Milligan, Ph.D mempelopori penggunaan teknik pencitraan yang disebut cryo-electron microscopy. Teknik ini memungkinkan mereka melihat citra jelas tentang bagaimana dua antibodi, yang disebut 1C3 dan 1C11, mengikat ke tempat rentan pada protein penting virus Ebola (glikoprotein).
Tim terkejut melihat bahwa 1C3 menyerang glikoprotein dengan cara yang tidak terduga. Alih-alih menempel pada satu tempat pada glikoprotein, 1C3 menempatkan dirinya dalam konfigurasi asimetris. Ini memungkinkannya memblokir tiga tempat glikoprotein sekaligus. Sementara itu, antibodi 1C11 mengikat "mesin" fusi yang biasanya digunakan virus untuk masuk dan menginfeksi sel inang.
Meskipun ada terapi antibodi terhadap virus Ebola, beberapa antibodi dalam terapi ini tidak benar-benar menetralkan virus. Sebaliknya, antibodi menempel pada protein umpan (glikoprotein larut) yang dibuat virus.
Baca Juga: Flu Babi Menyerang Beberapa Negara di Dunia, Peneliti: Ini Wabah Penyakit Hewan Terbesar
Baca Juga: Dua Tahun Pagebluk, Virus Corona dan Evolusinya yang Belum Berakhir
Baca Juga: Para Ilmuwan AS Menemukan Cara Virus Memicu Penyakit Autoimun
Baca Juga: Bukti Pertama Omicron Menyebar ke Hewan Liar Baru Saja Ditemukan
Untungnya, 1C3 dan 1C11 mengabaikan protein umpan dan langsung menuju struktur glikoprotein di permukaan virus yang sebenarnya. Ini berarti para peneliti dapat menggunakan lebih sedikit antibodi untuk secara efektif menargetkan virus Ebola dan virus Ebola Sudan.
Kedua antibodi memiliki bahan yang tepat dan kinerjanya sangat baik di luar lab. Kolaborator studi menemukan bahwa menggabungkan 1C3 dan 1C11 dalam terapi antibodi dapat melindungi kita terhadap virus Ebola dan virus Ebola Sudan.
Kekuatan tempur 1C3 dan 1C11 bisa berarti lebih banyak nyawa terselamatkan. Efek spektrum yang luas dari dua antibodi menjadikannya terapi menjanjikan untuk situasi ketika dokter tidak punya waktu untuk mencari tahu spesies Ebolavirus mana yang menginfeksi
Ke depannya, tim akan mencari tahu seberapa rendah dosis yang dibutuhkan. Dalam uji coba yang dijalankan pada primata non-manusia, dosis terendah pun memberikan perlindungan 100 persen.
Dosis yang lebih rendah mungkin sama efektifnya. Ini adalah pertanyaan penting untuk dijawab karena dosis yang lebih rendah akan membuat terapi lebih murah untuk diproduksi.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR